Sunset di Kepulauan Seribu dari dermaga Pulau Kotok Kecil
Indonesia, Journey

Island Hopping ke Kepulauan Seribu

Pulau Semut, Kepulauan Seribu

Ternyata asyik banget: mengunjungi pulau-pulau pribadi, snorkeling, dan tidur memakai tenda di dermaga.

 

Perahu motor Elang yang dikemudikan Pak Boyo dan dibantu Pak Pendi perlahan-lahan meninggalkan sisi selatan dermaga. Kami ber-17 yang ada di dalam perahu pun mulai merasa rileks. Meski perahu ini kecil, namun masih jauh lebih lega dibanding kapal angkutan umum atau ‘taksi air’ yang tadi membawa kami selama 2,5 jam dari pelabuhan ikan Muara Angke Jakarta ke Pulau Pramuka, di Kepulauan Seribu ini.

Ini perjalanan kedua saya bersama perahu Elang ini. Yang pertama beberapa bulan lalu, waktu ke Pulau Semut dan Pulau Bira. Tiga teman lama yang dulu satu rombongan, kini juga bergabung lagi: Aya si pemimpin trip, Charlie, dan Sas. Namun sepuluh orang lainnya tidak saya kenal sebelumnya, dan baru sempat berkenalan setelah di atas perahu ini, karena di taksi air tadi saya duduk terpisah dari rombongan. Ada Guttorm, Johannes, Mark, Guro, Anne, Nicole, Gyoengy, yang kesemuanya orang asing. Lalu ada Budi, Siska, dan Nevi. Meski sebelumnya tak saling kenal, kami segera menjadi akrab, dan itulah yang selalu saya sukai dari trip-trip semacam ini: mendapat teman-teman baru.

Air laut yang biru tenang menjelang siang itu, dan pemandangan pulau-pulau kecil dengan pantai-pantai bergaris pasir putih di depan kami, membuat kami mulai excited dengan apa yang akan kami segera lakukan: mengunjungi sebanyak mungkin pulau-pulau di Kepulauan Seribu, kemping di pulau mana saja kami boleh menginap, dan snorkeling!

Island Hopping Kepulauan Seribu

Perahu motor kecil menjadi favorit untuk keliling pulau-pulau di Kepulauan Seribu.

Yang pertama kami kunjungi adalah Pulau Semak Daun, sebuah pulau pribadi, sekitar 30 menit ke arah barat laut. Kadang orang-orang memlesetkan namanya dengan sebutan Pulau Smack Down. Kami akan memasak dan makan siang di sini. Dermaga kayunya di sisi timur terlihat masih baru. Guttorm, Gyoengy dan Johannes langsung terjun ke air yang berwarna hijau turquoise. Pantainya yang berpasir putih dan memanjang dari utara-selatan, tengah dibersihkan oleh dua orang tukang kebun. Agak ke selatan, bibit-bibit mangrove tengah ditanam untuk proyek penghijauan. Bagian paling bagus adalah pantai ujung selatan. Pantai pasir putih berbentuk setengah lingkaran itu sempurna untuk tempat mandi matahari.

Standard
Panen tembakau di Gandu Wetan Ngadirejo Temanggung
Indonesia, Journey

Desa-desa Asap

Sumringah petani tembakau Temanggung karena harga tahun ini naikMusim ini para petani tembakau di Temanggung bisa lebih gembira, karena hasil panen mereka bagus dan dihargai lebih tinggi.

 

“Kressh… kressh… kressh…”

Suara gobang memotong daun-daun tembakau terdengar renyah di pagi itu. Tiga lelaki, masing-masing duduk di sebuah bangku kayu di ruang tamu rumah, seperti berlomba merajang daun-daun tembakau yang terlihat masih banyak menumpuk di ruang belakangnya. Mereka mengambil 10 lembar daun tembakau yang sudah menguning –karena telah disimpan 3 hari 3 malam– mereka gulung, lalu dipotong melintang menjadi dua. Kemudian dua potongan itu dimasukkan ke dalam alat kayu seperti guillotine mini. Dengan ditekan sedikit ke depan memakai tangan kiri, tumpukan daun itu dipotong melintang dengan ayunan gobang, dan hasil rajangannya jatuh menumpuk ke lantai.

Merajang tembakau memakai gobang di Temanggung

Merajang tembakau dengan si gobang yang berat.

Ketepatan mereka dalam membuat rajangan sungguh mengagumkan. Rata-rata lebar rajangan itu hanya 2 milimeter saja. “Kalau terlalu lebar nanti keringnya lama,” kata Bukhori, salah seorang perajang. “Padahal diharapkan tembakau yang dirajang pagi hari itu bisa kering nanti sore.”

Sesekali Bukhori dan dua temannya berhenti untuk mengasah gobang dengan batu asah. Bentuk gobangnya menarik, seperti pisau besar yang digunakan oleh pemotong daging. “Gobang ini harganya bervariasi,” tambah Bukhori. “Yang saya pegang ini Rp 100 ribu. Tapi ada juga yang sampai Rp 250 ribu.” Saya mencoba mengangkatnya. Waduh, berat juga. Mungkin beratnya sekitar 1 kilogram.

Seorang pria lain mengatur rajangan daun tembakau yang berbentuk seperti mie itu agar lebih menyebar ke lantai, lalu dia menaburinya dengan gula pasir halus. Di beberapa tempat lain, kadang digunakan gula pasir cair yang disemprotkan dengan alat penyemprot. Para petani tembakau mencampur tembakau dengan gula itu untuk memperoleh warna cokelat tua, dan juga untuk menambah berat saat ditimbang.

Empat wanita yang ada di halaman depan secara bergantian mengambil tembakau yang sudah ditaburi gula ini, lalu mengaturnya menjadi lapisan tipis di atas rigen –alat menjemur tembakau dari anyaman bambu– yang berukuran 1 x 2 meter. Cara mengaturnya unik. Tiap rigen dibagi menjadi enam lajur tembakau rajangan, tiga di antaranya berisi rajangan-rajangan pendek dari bagian ujung dan pangkal daun. Tiga lajur lainnya berisi rajangan-rajangan yang panjang. Nanti setelah dijemur sehari, terus didiamkan semalam, lalu diangin-anginkan lagi esok sorenya, maka tiga rajangan pendek itu akan dimasukkan sebagai pengisi ke dalam rajangan-rajangan panjang. Tiga lajur itu lalu digulung dengan tangan untuk membentuk gulungan tembakau, yang kemudian dimasukkan keranjang dan diikat, siap dibawa ke gudang tembakau.

Rajangan tembakau ditaruh dalam rigen atau para-para untuk dijemur

Rajangan tembakau ditaruh di atas rigen atau para-para untuk dijemur.

Aktivitas di rumah kakak Bukhori di Desa Gandu Wetan, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung – Jawa Tengah pagi ini hanya satu bagian kecil dalam mata rantai bisnis tembakau di Temanggung. Tak hanya di desa ini saja yang sekarang sedang sibuk memanen tembakau. Desa-desa lain di Kecamatan Ngadirejo, yang terletak di kaki Gunung Sundoro, juga tengah panen. Misalnya saja di Desa Tegalrejo, Jumprit, Pringapus, hingga desa-desa di lereng gunung yang sudah mendekati wilayah Kabupaten Wonosobo. Bulan Agustus memang masa panen kebun-kebun tembakau di wilayah Gunung Sundoro dan Gunung Perahu. Baru bulan September nanti menjadi masa panen tembakau daerah-daerah di lereng Gunung Sumbing, arah tenggara Gunung Sundoro.

Standard
Gunung Sumbing dan Gunung Sundoro dari perkebunan tembakau Temanggung
Indonesia, Journey

Surviving Sundoro

Bunga senduro alias edelweis jawa banyak terdapat di Gunung Sundoro

Tertatih-tatih mendaki Gunung Sundoro di malam hari, sampai puncak 12 jam kemudian.

 

Saya bukanlah pendaki gunung, meski sudah pernah sampai ke puncak Gunung Krakatau dan Gunung Bromo. Buat saya, gunung itu terlalu tinggi dan terlalu berat untuk didaki, apalagi oleh fisik saya yang kecil. Namun melihat dua gunung, Sundoro dan Sumbing, berjejer begitu dekat di sisi kiri jalan yang kami lalui dari kota kecil Parakan, Temanggung, saya mendadak ingin naik gunung lagi.

“Beberapa bulan lalu Laboca pernah mendaki Sundoro memakai sepeda, sukses sampai ke puncak. Beritanya masuk koran dan televisi,” kata Umar, teman yang mengantar saya dan Arif ke Temanggung ini untuk meliput panen tembakau. Laboca adalah klub bersepeda yang Umar ketuai, di Borobudur, Kabupaten Magelang.

Saya tersentak. Mendaki gunung setinggi 3.138 meter dengan bersepeda, bagaimana caranya? Dikayuh dari bawah sampai ke puncak? “Oh, tidak,” Umar tertawa. “Waktu mendaki ya sepeda dipanggul. Baru saat turun, sepeda dinaiki.”

Wah, orang ‘gila’ mana yang mau melakukan hal seperti itu? Membawa kamera saja repot, apalagi memanggul sepeda!

Tapi memang akhirnya 7 dari 21 orang yang bersepeda itu sampai ke puncak Sundoro dan turun lagi, meski Umar sendiri termasuk dalam kelompok yang tak sampai ke puncak. Hmm, kalau orang bisa naik gunung sambil membawa sepeda, tentu medan pendakian itu tidak begitu sulit, pikir saya.

Puncak Sundoro dilihat dari pinggir jalan di Parakan Temanggung

Puncak Sundoro tertutup awan, dilihat dari pinggir jalan di daerah Parakan, Temanggung.

Umar kemudian menyarankan kami untuk mendaki dari Desa Sigedang, di lembah sisi barat Gunung Sundoro. Sisi ini tampak lebih landai kemiringannya dibanding sisi lainnya. Sigedang juga sudah berada di ketinggian sekitar 1.700 m, jadi sudah ‘separuh jalan’. Jalur pendakian dari selatan yang lebih umum, yakni Kledung Pass, tepat di tengah lembah antara Sundoro-Sumbing, malah lebih rendah, sekitar 1.335 m.

Umar memberi tahu nama juru kunci Gunung Sundoro yang ada di Sigedang, kepada siapa kami perlu minta izin dan mencari pemandu pendakian. Sore hari, saya dan Arif diantar ke Sigedang oleh Pak Bukhori dan Pak Budi memakai sepeda motor. Letak desanya di punggungan gunung di sisi barat Sundoro, di pertemuan dengan Gunung Butak. Desa ini sudah masuk wilayah Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.

Pak Amin, sang juru kunci, adalah lelaki berperawakan kecil berusia sekitar 50 tahun. Ia pria Jawa yang mengerti betul tentang Sundoro, hingga ke sisi-sisi mistisnya.

“Sumbing dan Sundoro itu gunung kembar, kakak-beradik. Yang Sumbing itu lelaki dan sang kakak, sementara Sundoro itu perempuan, sang adik,” tuturnya serius. Menurutnya, nama yang benar adalah Sundoro, bukan Sindoro. Sun itu artinya ‘kesenangan’, sedangkan ndoro artinya ‘orang besar’. Jadi Sundoro artinya tempat bagi orang-orang yang senang menjadi orang besar. Makanya gunung ini sering menjadi tempat orang bertapa. Dan setiap malam 1 Syura atau tahun baru Islam, ribuan orang mendaki Sundoro untuk berdoa dan memohon berkah.

Standard
Fantasy of a Kingdom, Phuket FantaSea Thailand
Journey, Mancanegara

Fantasi FantaSea

Viva Bangkok Stage, Phuket FantaSea

Phuket FantaSea menyediakan aneka suvenir yang menggoda, bidadari-bidadari yang bisa terbang, dan kegembiraan untuk semua usia.

 

Petang itu, suasana gembira sudah mulai terasa begitu saya memasuki pelataran depan Phuket FantaSea, di sisi utara jalan yang menuju Pantai Kamala. Tiga orang gadis, yang tampaknya dari Jepang, bergantian berfoto di depan patung kinnaree (bidadari berbadan separuh burung) yang berpose melayang di dekat tempat menurunkan pengunjung.

Tak jauh dari kinnaree ini, di sebelah timur, berdiri bangunan loket tiket dengan desain tiang-tiang yang besar dan berhias kepala-kepala gajah berwarna emas. Namun tak banyak orang yang antri membeli tiket di sini. Mungkin karena sebagian besar pengunjung mengurus tiket masuk FantaSea melalui hotel atau agen-agen perjalanan di Phuket.

Sawasdee ka.” Seorang gadis berpakaian tradisional Thai dengan sopan memberi salam dan meminta tiket yang saya pegang, lalu mengelupaskan bagian untuk pengunjung dan menempelkannya di baju saya. Dia menanyakan sesuatu dalam bahasa Thai, yang tentu saja tidak saya mengerti. “Pasti saya dikira orang Thailand lagi!” pikir saya.

The Magic Mountain Phuket FantaSea

The Magic Mountain, sambutan di pintu masuk Phuket FantaSea.

Sudah beberapa kali saya mengalami hal seperti ini. Ketika saya bilang saya dari Indonesia, dia minta maaf, lalu menanyakan dalam bahasa Inggris, apakah saya akan langsung dinner ataukah melihat-lihat suasana dulu. Saya memilih yang kedua. Dia lalu menunjukkan cara menuju restoran tempat dinner, lalu meninggalkan saya untuk menyambut tamu-tamu lain yang datang dengan kereta-kereta beroda yang dimiliki Phuket FantaSea.

Saya mampir sebentar ke Magic Mountain, bukit-bukit buatan yang mengambil bentuk seperti pulau-pulau karang di sekitar Phuket, dan di bawahnya ada telaga kecil berisi patung putri duyung dan beberapa figur dalam mitos Thailand. Setelah melewati pemeriksaan logam di pintu masuk, dua orang berpakaian topeng hantu warna-warni khas propinsi Loei, Thailand Timur Laut, menyambut saya. Namun mereka segera dikerubuti para pengunjung lain yang minta foto bersama.

Bagian ini adalah Carnival Village, di mana berderet kios-kios yang menyajikan kerajinan khas Thailand. Seorang pria sedang mendemokan cara membuat miniatur-miniatur sepeda motor dari bahan kabel. Di sampingnya ada kios yang menampilkan gelas-gelas berhias jeli warna-warni. Hmm, rasanya seperti memasuki Dunia Fantasi Ancol, Jakarta, Hanya saja di sini nuansa mempromosikan produk-produk kerajinan dan industri kecil Thailand lebih terasa.

Macan penghuni Tiger Jungle Adventure Phuket FantaSea

Dua macan beneran yang menghuni Tiger Jungle Adventure.

Mulai beroperasi pada 6 Februari 1999 dan menjadi satu-satunya nighttime cultural theme park di Phuket, FantaSea ini tampak seperti masih baru saja. Dan rapi. Bahkan belum lama taman rekreasi ini menambah tiga fasilitas baru, yakni Tiger Adventure Safari, Similan Entertainment Center, serta Songbird Luminarie.

Hanya ada satu jalan utama tempat pengunjung berjalan-jalan di kompleks taman seluas 140 akre ini. Di tiket yang saya pegang ada denah taman ini, yang memanjang, dengan kanan-kiri dipenuhi toko-toko suvenir dan aneka tempat permainan. Namun saya belum bisa membayangkan seberapa besar sebenarnya kompleks taman rekreasi ini.

Songbird Luminarie Phuket FantaSea

Merak Putih di Songbird Luminarie – entah bagaimana cara Phuket FantaSea mendapatkannya.

Saat hendak memasuki bangunan berbentuk mulut Hanuman di kanan saya, dari depan muncul serombongan anak-anak muda berpakaian tradisional Thailand. Mereka tampaknya hendak mengadakan happening art di tempat dua orang berpakaian hantu tadi.

Standard
Dua sangkar raksasa di Coqoon Spa Indigo Pearl Phuket
Check In

Spa di Sarang Burung

Patung penambang timah di lobi Indigo Pearl Resort Phuket

Spa ini tidak seperti yang lainnya: menggantung di sebuah sarang raksasa, di tengah Enchanted Forest.

 

Tiga lelaki pekerja tambang berkostum stylish tampak asyik dengan pekerjaan masing-masing, berjejer menempati salah satu sisi lobi resor. Yang satu hendak mengambil sesuatu dengan klem, lainnya hendak memanjat dengan bantuan tali, dan satunya lagi tampak mengebor bebatuan.

Mereka tak terpengaruh oleh kesibukan para staf resor di dua meja resepsionis yang masing-masing menempati ujung lobi ini. Satu meja melayani tamu-tamu yang hendak check-in, satu meja lainnya untuk yang check-out. Pekerja tambang itu juga tidak silau oleh berlian-berlian besar berwarna indigo yang terperangkap di tiang-tiang lobi. Ya, karena mereka memang hanya patung-patung dari timah, yang sengaja dipajang di lobi ini untuk menegaskan bahwa resor bintang lima ini memang didedikasikan untuk mengenang masa-masa kejayaan tambang timah di daerah ini.

Lobi Indigo Pearl Resort Phuket yang bikin betah dengan pilar-pilar kaca berbatu warna indigo

Lobi Indigo Pearl Resort Phuket yang bikin betah dengan pilar-pilar kaca berbatu warna indigo. [Dok. Indigo Pearl Phuket]

Saya duduk di sofa biru muda di antara kedua meja resepsionis, menunggu konfirmasi jadwal treatment spa yang sudah saya booking kemarin sore. Langit senja tampak masih membiru di luar. Di meja depan saya, lagi-lagi terpajang alat-alat antik yang digunakan untuk menambang timah.

Sekarang sebenarnya bukan peak season di Phuket, juga bukan weekend. Namun melihat kesibukan para staf resor melayani para tamu, saya berkesimpulan bahwa resor yang berhalaman belakang Pantai Nai Yang ini merupakan tempat menginap favorit di Phuket.

Salah satu tipe kamar DBuk tempat saya menginap

Gaya industrial terasa kental di salah satu tipe kamar DBuk tempat saya menginap. [Dok. Indigo Pearl Phuket]

Standard