River cruise di Sungai Seine Paris dengan Katedral Notre Dame di latar belakang
Journey, Mancanegara

Menikmati Paris dari Seine

Sungai Seine dengan Jembatan Pont Alexandre III dan Menara Eiffel

Mari menikmati ‘The City of Lights’ dari perspektif yang berbeda, dengan menyusuri sungai yang membelah kota.

 

Patung rangka T-Rex yang berkilat-kilat keperakan di dermaga kapal Bateaux Mouches itu seolah mengawasi kami, para penumpang yang tengah antri untuk memasuki kapal wisata tur sungai. Menjelang tengah hari di akhir September ini, sisa-sisa suhu musim panas masih terasa, meski agak tertolong oleh semilir angin dan riak-riak air Sungai Seine yang mengalir tenang.

Saya mencari tempat di dek lantai dua yang terbuka, di mana sebagian besar wisatawan lain juga melakukan hal yang sama. Bukankah kami memang ingin menyusuri Sungai Seine sambil melihat-lihat keindahan kota Paris?

Para wisatawan yang sebagian adalah anak-anak muda, yang dari bahasanya sepertinya berasal dari China, segera mencari tempat paling ujung belakang yang lebih lega agar lebih leluasa untuk berfoto-foto. Sebaliknya para wisatawan yang lebih tua umumnya lebih suka duduk di deretan bangku-bangku besi yang merapat hingga ke pagar pembatas tepi kapal, dan hanya menyisakan satu gang di tengah untuk berlalu-lalang. Dari dek lantai dua ini saya juga bisa melihat bagian pinggir dek lantai satu yang lebih lebar, yang menyisakan deretan kursi yang bisa diduduki oleh dua orang, sehingga para wisatawan bisa melihat pemandangan di tepi sungai secara lebih dekat dari permukaan air. Dan tentunya, ada deretan kursi wisatawan di dek lantai satu di bawah kaki kami, yang terlindung dari panas matahari.

Pukul 11 tepat, kapal tur Sungai Seine ini mulai bergerak meninggalkan dermaga yang berada tak jauh dari jembatan Pont de l’Alma. Bateaux Mouches punya 6 kapal tur sungai yang berbeda desain ruang kemudi maupun pengaturan kursinya, dan kebetulan saya naik kapal dengan ruang kemudi di ujung depan, dan menjadi bagian paling tinggi di kapal ini. Ruang kemudi ini tak bisa dimasuki wisatawan, jadi paling tepat memang berdiri di ujung paling belakang kapal kalau ingin leluasa melihat pemandangan di kedua sisi sungai.

Kapal wisata Bateaux Mouches tengah menyusuri Sungai Seine di Paris

Salah satu jenis kapal Bateaux Mouches tengah menyusuri Sungai Seine mendekati Jembatan Pont Alexandre III.

Bateaux Mouches sendiri bukan satu-satunya operator kapal wisata di Sungai Seine. Ada banyak operator lainnya, seperti Vedettes du Pont Neuf, Bateaux Parisiens, Les Vedettes de Paris, Marina de Paris, Paris Canal, dan sebagainya. Masing-masing punya pier atau dermaga keberangkatan sendiri dan juga skedul tur yang berbeda. Jadwal paling pagi kapal wisata Bateaux Mouches ini adalah pukul 10.15 dan berlanjut 45 menit atau 30 menit berikutnya, tergantung hari dan musim wisata.

Bateaux Mouches menjadi operator favorit, karena kapal-kapal pesiarnya beroperasi sepanjang hari, dan menyediakan beberapa jenis tur sungai. Mulai dari Classic Sightseeing Cruise dari pagi hingga sore seperti yang sedang saya coba ini, maupun dinner cruise dan romantic cruise di petang hari. Yang Classic Sightseeing Cruise ini berlangsung sekitar 1 jam 10 menit, dengan biaya 15 euro untuk dewasa dan 6 euro untuk anak usia 4-13 tahun.

Rute Seine River Cruise Bateaux Mouches

Rute kapal wisata Bateaux Mouches, ke kanan dulu (hulu, timur) baru kemudian putar balik ke hilir (kiri, barat). [Dok. Bateaux Mouches]

Standard
Salak Bali dari Dukuh Sibetan Kabupaten Karangasem
Indonesia, Journey

Salak Para Dewa

Salak Bali Dukuh Sibetan Kabupaten Karangasem

Bali mempunyai 15 jenis salak, dengan pusatnya berada di Kabupaten Karangasem.

 

Pohon-pohon salak berjejer rapi di kanan-kiri jalan kampung yang kami lalui. Tanaman dengan batang-batang berduri itu hanya dipagari batang-batang bambu. Gerumbul buah salak bermunculan dari tiap pohon, dibungkus serabut-serabut seludang (kantung bakal buah) yang sudah tercerai-berai karena tak mampu lagi menahan buah salak yang makin membesar.

Saya dan Nana Wahyuni mengikuti langkah I Made Sujana (42), sang pemandu, masuk ke kebun salak milik I Made Dana Andi, yang punya 520 pohon salak. Kami sengaja datang dari Amlapura, ibukota Kabupaten Karangasem, diajak Nana yang bekerja di Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Karangasem. Kami naik motor selama 1 jam ke Banjar Dukuh ini, menyusuri jalan berliku dan menaik, sampai akhirnya tiba di dusun yang terletak di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem ini.

Salak Bali Dukuh Sibetan Kabupaten Karangasem Bali

Salak-salak yang siap dipanen.

Ketinggian Banjar Dukuh ini 500-600 meter di atas permukaan laut, sangat cocok untuk budidaya tanaman salak. Tadi di sepanjang jalan pun saya disuguhi pemandangan kebun-kebun salak, mobil-mobil bak terbuka membawa salak, serta para wanita yang memanggul keranjang salak untuk dijual ke pasar. Nana membawa saya ke Dukuh karena di sini terdapat tur agrowisata dan treking di kebun salak, serta pabrik wine salak sau-satunya di Bali. Ternyata, Made Sujana itu dulu satu kelas dengan Nana sewaktu di SMA. Jadi kunjungan ini sekaligus seperti reuni dadakan.

Menurut Sujana, Bali mempunyai 15 jenis salak lokal, yakni salak gula pasir, salak nanas, salak gondok, salak nangka, salak cengkeh, salak kelapa, salak injin, salak embadan, salak getih, salak bingin, salak mesui, salak biji putih, salak maong, salak penyalin, dan salak gading. Namun yang paling banyak ditanam adalah 5 jenis salak pertama. Salak gula pasir merupakan salak unggulan karena rasa dan kualitas buahnya berbeda dengan jenis salak yang lain.

Standard
Palawan Crocodile Farm Puerto Princesa The Philippines
Journey, Mancanegara

Makan Buaya di Puerto Princesa

Tricycle alias bajaj yang jadi alat transportasi umum di Puerto Princesa, Pulau Palawan, Filipina

Jauh-jauh ke Palawan, Filipina, yang dicari malah yang aneh-aneh.

 

“Tadi ada yang jadi makan sisig buaya?”

Lawrence, sang pemandu lokal, tiba-tiba saja bertanya kepada kami. Saya pun terhenyak. Yahh, kenapa tadi saya lupa? Bukankah sebelumnya Lawrence sudah menyarankan supaya kami mampir ke kafe di dekat toko-toko suvenir?

Sayangnya mobil van yang kami tumpangi sudah agak jauh meninggalkan Palawan Crocodile Farm, jadi kalau mau balik lagi rasanya nggak enak. Apalagi rombongan kami –10 bloger dan jurnalis serta 30 travel agent– kini hendak menuju destinasi selanjutnya, Iwahig Prisoner & Penal Farm, yang masih satu jam lagi dari sini.

Mungkin kalaupun jadi bertemu yang namanya sisig buaya itu, belum tentu juga saya berani memakannya. Bukan masalah halal-haramnya ya, tapi mualnya itu lho. Cuma saya penasaran saja sih. Masa jauh-jauh datang ke Pulau Palawan di Filipina ini tapi tidak mencoba makanan khasnya. Lebih-lebih, kata Lawrence, pulau ini memang menjadi habitat kesukaan buaya.

“Sekitar 80 persen sungai-sungai di Palawan Selatan mempunyai buaya. Sedangkan di Palawan Utara, hanya 5 persen saja yang berbuaya.” Hmm, saya bisa membayangkan, pasti ngeri deh kalau mau berenang di sungai-sungai di pulau ini. Walaupun cuma 5 persen, misalnya, emang kita bisa memastikan mana sungai yang berbuaya dan mana yang tidak?

Si Baloy Crocodile Farm Puerto Princesa Palawan Filipina

Berlagak pawang, padahal moncong Si Baloy diselotip.

Tadi sebenarnya saya punya cukup waktu untuk mencoba sisig buaya itu, kalau memang saya tidak lupa. Setelah mendapat penjelasan tentang jenis-jenis buaya di Palawan, bentuk fisik dan kebiasaan hidup buaya, kami juga tur ke kandang-kandang dan kolam pembiakan buaya. Hiih, ngeri deh. Kayaknya tempat itu hanya cocok buat traveler yang punya nyali.

Kios suvenir di Crocodile Farm Puerto Princesa, Palawan, Filipina

Kenapa tadi saya nggak beli t-shirt ini ya?

Tapi saya tadi sempat juga lho, foto bareng buaya kecil, Baloy namanya. Saya mesti bayar 360 peso (sekitar Rp 108 ribu) untuk cetak 2 foto yang ukuran kartupos. Asal tahu saja, sebenarnya moncong buaya itu diikat dengan selotip bening, jadi kalau di foto tetap kelihatan natural seperti buaya yang baru ditangkap di sungai, hahaha! Tapi ya itu. Saya kok bisa ya berlama-lama menyambangi satu demi satu toko suvenir di dekat pintu keluar farm, padahal akhirnya tidak membeli apapun. Yang kafe sisig buaya itu malah lupa!

Standard
Tarsier di Pulau Bohol Filipina
Journey, Mancanegara

Si Mata Belo dari Bukit Cokelat

Chocolate Hills Bohol Island Filipina

Meski cuma 10 jam di Pulau Bohol, Filipina, saya beruntung bisa menikmati  Chocolate Hills dan jatuh cinta dengan Tarsius.

 

Kapal cepat MV Starcraft merah-oranye akhirnya mulai bergerak meninggalkan Pier 1 Pelabuhan Cebu City, setelah telat 15 menit dari jadwal seharusnya, pukul 7.00 pagi. Terus-terang hati saya masih galau melihat langit pagi yang tertutup mendung kelabu. Padahal semalam hujan deras. Biasanya kalau malam hujan, paginya cerah. Tapi ini sayangnya tidak. Kalau mendung terus, harapan bisa memotret Chocolate Hills dengan latar belakang langit biru pun menipis. Dan sayangnya, mendung ini masih menggelayut saat kami tiba satu jam kemudian di pelabuhan kota Tubigon, di sisi barat Pulau Bohol.

Kami berempat: saya, istri saya Helen, putri kami Mayumi, dan ayah mertua saya Honorato, berencana mengunjungi beberapa destinasi wisata di Pulau Bohol. Di antaranya bukit-bukit mengerucut mirip cokelat raksasa yang dinamai Chocolate Hills di kota Carmen. Kami juga ingin melihat tarsier atau tarsius, yang disebut-sebut primata terkecil di dunia, di hutan konservasinya di dekat kota Corella. Pulau Bohol sendiri bertetangga dengan Pulau Cebu, tempat asal istri. Dan saya sekeluarga pulang ke Cebu dalam rangka liburan akhir tahun. Jadi sayang kalau sudah sampai Cebu tapi tidak mampir ke Bohol, terlebih Chocolate Hills merupakan destinasi wisata kebanggaan Filipina, selain Pulau Boracay.

Kapal Starcraft dari Cebu City ke Tubigon di Pulau Bohol.

Kapal Starcraft siap berangkat dari Cebu City ke Tubigon di Pulau Bohol.

Kalau memakai rute yang ‘biasa’, orang umumnya akan mengunjungi Chocolate Hills melalui kota Tagbilaran, ibukota provinsi Bohol, yang mempunyai bandar udara.  Namun karena dari Cebu lebih dekat ke Tubigon, rute inilah yang kami pakai. Selain lebih murah dan hemat waktu, kami juga bisa mengunjungi Chocolate Hills dua kali, yakni di Sagbayan Peak dan di kota Carmen. Kalau dari Tagbilaran, umumnya tur ke bukit-bukit cokelat itu hanya sampai Carmen.

Mr. Tony sudah menunggu kami dengan mobil sedannya di pelabuhan Tubigon. Saat mengontak Starcraft untuk booking tiket kapal, staf customer service-nya menanyakan berapa orang yang akan tur. Ketika kami jawab berempat, dia merekomendasikan kami untuk memakai jasa tur Mr. Tony di Tubigon karena lebih murah, yakni 2.500 peso  (sekitar Rp 625.000) untuk tur satu hari. Harga untuk empat orang ini sudah termasuk biaya supir dan bensin, namun tidak mencakup tiket masuk ke objek wisata serta makan siang. Kalau dihitung-hitung, biaya ini lebih murah dan lebih nyaman dibanding kalau ikut tur dari Tagbilaran yang sekitar 1.000 peso per orang, dan bercampur dengan turis-turis lain.

Jalan aspal yang mulus dan lebih mirip jalan beton menyambut kami begitu meninggalkan Tubigon. Di kanan-kiri jalan asri dengan banyak pepohonan, mulai dari pohon kelapa, mangga, mahoni, yang diselingi dengan rumah-rumah beratap seng. Jalan dan rumah-rumah relatif sepi. Hanya sesekali saja kami berpapasan atau menyalip tricycle, becak motor khas Filipina, yang mirip bentor di Medan. Angkutan umum bus juga hanya sedikit kami temui, umumnya bus non-AC dengan jendela sampingnya yang tanpa kaca, jadi penumpangnya benar-benar merasakan ‘AC window’.

Sagbayan Peak

Kami membelok ke kanan begitu sampai di pertigaan kota kecil Clarin, dan tak lama kemudian bukit-bukit kecil berbentuk kerucut menyembul di kanan kami, begitu sampai di kota kecil Sagbayan. Wow, itu dia Chocolate Hills!

Standard
Kawah Ratu Gunung Salak
Indonesia, Journey

Jalan Panjang ke Kawah Ratu

Hidup segan mati tak mau di kawasan penuh asap belerang Kawah Ratu Gunung Salak

Treking yang seharusnya mudah menjadi sulit, bahkan sampai tersesat beberapa jam. Ternyata memang harus diuji dulu sebelum bisa menghadap Sang Ratu.

 

Waktu baru menunjukkan pukul 3.45 dini hari saat kami bertiga, saya, Boy, dan Raiyani, menyeberangi jalan aspal memasuki jalan setapak yang menuju titik awal pendakian. Udara terasa sejuk, dan memandang ke langit, sepertinya hari akan cerah. Mudah-mudahan nanti tidak hujan, doa saya, meski saya tak lupa membawa jaket hujan untuk jaga-jaga.

Kami bertiga hendak treking menuju Kawah Ratu, di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kawah Ratu (1.437 mdpl) berada di ‘pinggang’ Gunung Salak, di pinggir jalur pendakian menuju puncak. Jadi kami tidak perlu naik sampai Puncak Salak I (2.210 mdpl) apalagi Puncak Salak II (2.180) yang lebih jauh. Gunung Salak memang punya dua puncak.

Ada beberapa jalur treking menuju Kawah Ratu. Pertama, melalui jalur Cidahu-Cangkuang, Sukabumi. Kedua, dari Pasir Reungit (1.173 mdpl) dekat kompleks Gunung Salak Endah, seperti yang kami lakukan sekarang. Pilihan ketiga adalah dari Gunung Bunder, yang sebenarnya tak jauh dari sini. Tadinya kami hendak berangkat lebih pagi, karena Rai ingin mengejar sunrise. Namun karena kata Boy kawah itu berada di lembah dan matahari terhalang lereng gunung sehingga kami tak akan mendapatkan sunrise, waktu pendakian pun sedikit diundur.

Belarang di Kawah Ratu Gunung Salak

Belerang di mana-mana di Kawah Ratu.

Kami segera sampai ke pintu gerbang menuju jalur pendakian, yang kosong tanpa penjaga. Ya iyalah, siapa yang mau jaga di sepagi buta ini? Hanya ada papan peta sederhana yang menunjukkan jalur pendakian ke kawah dan puncak Gunung Salak. Kawah Ratu ada di titik terdekat, lalu Puncak Salak I, dan terakhir Puncak Salak II. Tapi biasanya pendakian tidak sesimpel itu, pikir saya.

Kami lalu menemukan patok di pinggir jalur treking bertuliskan TN HM 86. Sepertinya, TN menunjukkan ‘Taman Nasional’, dan HM menunjukkan ‘Hektometer’ (100 meter). Menurut Boy, kami akan mengikuti jalur treking yang telah ditandai dengan patok-patok ini.

Sebuah sungai kecil dengan air yang gemericik kami seberangi. Boy bilang, jalur pendakian kami akan banyak menemui sungai-sungai kecil dan kadang aliran airnya melimpah ke jalur treking, jadi dia menyarankan saya memakai sandal treking yang all-weather, bukan sepatu gunung. Tapi saya tetap memakai sepatu gunung karena dia baru memberitahu saya sekarang, hahaha!

Jalan mulai menanjak, dan saya yang paling belakang mulai tertinggal. Tapi tidak apa, karena saya membawa senter, sehingga Boy dan Rai mesti menghentikan langkahnya dulu supaya mereka bisa melihat jalur treking yang kami lalui. Boy membawa senter kecil, namun sepertinya lupa mengganti baterainya, sehingga cahayanya tak cukup menerangi jalur treking yang masih gelap.

Jalur treking menuju Kawah Ratu Gunung Salak yang penuh dengan sungai dan aliran air

Bakal sering ketemu sungai dan aliran air di sepanjang jalur treking menuju Kawah Ratu. Sebaiknya memakai sepatu khusus untuk basah-basahan.

Sampai di sebuah pertigaan, Rai yang sudah agak jauh melangkah, dipanggil Boy. “Lewat sini, bukan ke situ!”

Boy meminta saya menyorot sebuah penunjuk jalan yang menempel di pohon yang tertutup daun-daun, dan terlihat tulisan Kawah Ratu 1,3 Km, Cidahu 6,3 Km, Puncak I 8,8 Km.  Saya merasa lega, karena trekingnya ternyata cuma 1,3 km. Dengan berjalan normal, paling 45 menit juga sampai.

Tapi… mengapa Boy tadi di penginapan bilang trekingnya sekitar 2-3 jam? Apa medannya berat? Saya tak banyak berpikir, karena harus mengejar Rai dan Boy yang sudah jauh lagi di depan.

Meski gelap gulita, Rai sepertinya punya ‘mata harimau’, sehingga dia bisa menyusuri jalur treking tanpa kesulitan. Terlebih karena dia tidak membawa apa-apa. Tas kamera, air, dan bekal makanan semua dibawa Boy dalam dua backpack. Sementara saya cukup repot membawa tas kamera dan tas tripod, sambil membawa senter untuk menyoroti jalur treking.

Patok 85 kami lewati, dan jalan tanah yang becek serta sempit dan menanjak mulai kami lewati. Di depan berikutnya suara gemericik air menemani sepanjang kami berjalan. Kadang airnya menggenangi jalur treking, dan saya mesti berjingkat atau melompat agar sepatu tidak basah.

Standard