Dua sangkar raksasa di Coqoon Spa Indigo Pearl Phuket
Check In

Spa di Sarang Burung

Patung penambang timah di lobi Indigo Pearl Resort Phuket

Spa ini tidak seperti yang lainnya: menggantung di sebuah sarang raksasa, di tengah Enchanted Forest.

 

Tiga lelaki pekerja tambang berkostum stylish tampak asyik dengan pekerjaan masing-masing, berjejer menempati salah satu sisi lobi resor. Yang satu hendak mengambil sesuatu dengan klem, lainnya hendak memanjat dengan bantuan tali, dan satunya lagi tampak mengebor bebatuan.

Mereka tak terpengaruh oleh kesibukan para staf resor di dua meja resepsionis yang masing-masing menempati ujung lobi ini. Satu meja melayani tamu-tamu yang hendak check-in, satu meja lainnya untuk yang check-out. Pekerja tambang itu juga tidak silau oleh berlian-berlian besar berwarna indigo yang terperangkap di tiang-tiang lobi. Ya, karena mereka memang hanya patung-patung dari timah, yang sengaja dipajang di lobi ini untuk menegaskan bahwa resor bintang lima ini memang didedikasikan untuk mengenang masa-masa kejayaan tambang timah di daerah ini.

Lobi Indigo Pearl Resort Phuket yang bikin betah dengan pilar-pilar kaca berbatu warna indigo

Lobi Indigo Pearl Resort Phuket yang bikin betah dengan pilar-pilar kaca berbatu warna indigo. [Dok. Indigo Pearl Phuket]

Saya duduk di sofa biru muda di antara kedua meja resepsionis, menunggu konfirmasi jadwal treatment spa yang sudah saya booking kemarin sore. Langit senja tampak masih membiru di luar. Di meja depan saya, lagi-lagi terpajang alat-alat antik yang digunakan untuk menambang timah.

Sekarang sebenarnya bukan peak season di Phuket, juga bukan weekend. Namun melihat kesibukan para staf resor melayani para tamu, saya berkesimpulan bahwa resor yang berhalaman belakang Pantai Nai Yang ini merupakan tempat menginap favorit di Phuket.

Salah satu tipe kamar DBuk tempat saya menginap

Gaya industrial terasa kental di salah satu tipe kamar DBuk tempat saya menginap. [Dok. Indigo Pearl Phuket]

Standard
Bayon Temple Angkor Wat Siem Reap Cambodia
Check In

Memupus Lara Amansara

Melepas lelah menjelang senja di Roof Terrace Amansara Siem Reap Cambodia

Berawal dari keinginan Pangeran Norodom Sihanouk untuk mempunyai tempat menginap yang layak bagi tamu-tamunya, kini guesthouse itu menjadi sebuah resor eksklusif, Amansara.

 

Staf resor yang menjemput saya di pintu kedatangan Bandara Siem Reap itu dengan sopan membukakan  pintu mobil Mercedes Benz 322, sementara sang supir dengan sigap membukakan bagasi untuk menaruh kopor saya. Saya sempat tertegun, karena baru kali ini dijemput dengan sebuah Mercedes antik saat hendak menginap di sebuah resor. Jok-jok mobilnya masih empuk, bersaput sarung warna putih. Sebuah radio tua di tengah-tengah dashboard, berdampingan dengan setir yang sama tuanya, mengingatkan saya pada film-film tentang era 60-an.

Mercedes Benz 322 Amansara yang antik menyusuri jalanan Siem Reap

Mercedes Benz 322 yang antik menyusuri jalanan Siem Reap yang bernuansa pedesaan.

Sepanjang jalan, kanan-kiri berupa pedesaan yang menyerupai desa-desa di Jawa saat musim kemarau, kusam berdebu, dan bertanah kemerahan. Namun ini tak lama, karena mobil lalu memasuki kota dengan suasana yang lebih ceria. Saat melewati bangunan berpagar tembok putih memanjang, mobil pun memperlambat kecepatan, lalu melewati sebuah gerbang yang dibuka perlahan oleh seorang penjaga. Pohon-pohon teduh menaungi area ini, dengan kerikil-kerikil kecil menutupi seluruh permukaan halaman.

Amansara Siem Reap Cambodia

Selamat datang di Amansara!

Saya, seperti banyak orang yang pertama sampai ke tempat ini, mungkin tidak menyangka kalau bangunan di balik tembok ini dulu sebuah guesthouse milik Pangeran Norodom Sihanouk, raja dan kepala negara Kamboja pada saat itu.

Kolam renang utama Amansara Siem Reap Cambodia

Sebelum sampai ke suite pun sudah disambut kolam renang dengan bentuk tak biasa.

Setelah Kamboja merdeka tahun 1953,  negeri ini mulai berbenah dan membangun di segala bidang, termasuk membangun jalan, jembatan, rumah-rumah sakit, dan gedung-gedung pemerintah. Para arsitek muda Kamboja kembali dari Prancis untuk ikut membangun negeri, dan membawa semangat baru dalam desain bangunan, yang disebut New Khmer Architecture. Aliran arsitektur ini memadukan budaya tradisional Kamboja dan gaya modern yang tidak ada sebelumnya.

Saat inilah, seorang arsitek Prancis, Laurent Mondet, yang sudah tinggal di Kamboja sejak masa kolonial Prancis, ditugaskan oleh Sihanouk untuk membangun dua guesthouse negara. Pertama Villa Princiere di Siem Reap, dan satu lagi di Kep, di provinsi Kampet, Kamboja Selatan.

Berbeda dengan bangunan-bangunan lain milik kerajaan yang berkesan mewah, kompleks Villa Princiere ini bergaya sangat modern namun low-profile. Bagian depan berupa bangunan penerima tamu berbentuk setengah lingkaran, lalu ruang makan keluarga, sebuah bangunan besar berbentuk lingkaran untuk tempat makan para tamu, dua buah kolam renang di tengah-tengah, dan empat suite yang menempati sudut-sudut lainnya.

Pool Suite Amansara Siem Reap Cambodia

Pool Suite Amansara dilengakapi kolam renang pribadi selain shower dan bathtub.

Standard
Check In

Hati Tertambat di Roemahkoe

Lorong-samping-Roemahkoe-Solo

Dalam sebuah kunjungan yang singkat, tiba-tiba saya jatuh cinta pada sebuah rumah kuno.

 

Sambil menunggu pembukaan Solo Batik Carnival yang baru akan dibuka nanti siang jam 2, pagi itu saya membuka-buka Katalog Wisata Kota Solo yang diberi oleh seorang teman, dan mencari-cari kalau ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk mengisi waktu luang beberapa jam ini. Menjelang bagian akhir katalog, pandangan saya tiba-tiba terantuk pada Roemahkoe Bed & Breakfast. Di katalog itu hanya ada alamat, tidak tercantum nomor teleponnya. Tapi tak masalah. Tukang becak yang saya tanyai segera tahu tempatnya dan ia pun mengantar saya.

Primbon-Jawa-Roemahkoe-Solo

Ruang tamu dengan lukisan primbon jawa.

Tampak depan rumah ini, dengan dua pilar utama di sisi kanan dan kiri yang berstruktur bulat dengan dua garis lengkung di bagian atas, segera mengingatkan saya pada sesuatu: rumah ini pasti bergaya art deco, dan dibangun antara tahun 1920-1940.

Saya masuk ke lobinya, dan segera saya terkagum-kagum. Lobi yang setengah terbuka ini memadukan dinding rumah yang kokoh dengan ornamen-ornamen kaca patri yang cantik dan bernuansa kuning di bagian atas, dengan elemen-elemen kayu jati coklat tua yang menonjolkan nuansa Jawa.

Ruang-tamu-Roemahkoe-Solo

Pandangan ke luar dari ruang tamu.

Dari poster yang ada di lobi kemudian saya tahu, rumah yang berdiri di atas tanah seluas 2.000 meter persegi ini dibangun tahun 1938. Awalnya rumah ini dimiliki oleh Ibu Hajjah Pusposumarto, salah satu saudagar batik di Laweyan, sebelum kemudian akhirnya dimiliki oleh Nina Akbar Tanjung. Tahun 2000, Nina menjadikan rumah ini sebagai sebuah resto bed & breakfast –konsep yang populer di Inggris setelah Perang Dunia II– dengan tetap mempertahankan keaslian dan nilai-nilai historis rumah ini.

“Ubin, dinding, kayu-kayu, dan kaca-kaca patri yang ada di rumah ini semuanya masih asli,” kata Sugi, yang dipercaya untuk mengelola rumah ini, bersama 11 staf lainnya. “Kalau ada kaca yang pecah, gantinya harus sama atau semirip mungkin dengan yang asli.” Saya memperhatikan ubin di bawah kaki saya, dan saya terpesona. Ubin dari tegel-tegel berukuran 20×20 cm itu berwarna merah jambu, dengan pola berupa bulatan-bulatan seperti percikan air. Di beberapa sudut, pola ini diselingi oleh garis tegel berwarna kuning dengan ukuran dan pola yang sama. Benar-benar cantik!

Bagian tengah rumah ini, yang dipisahkan dari lobi oleh pintu-pintu kayu berornamen kaca patri, mempunyai permukan lantai yang lebih tinggi, dengan dua pilar jati yang kokoh di kiri-kanan, dan sebuah pelaminan di tengahnya. Memang, Roemahkoe (ejaan lama dari ‘rumahku’) bisa juga dipakai sebagai tempat untuk resepsi pernikahan, dan bisa menampung hingga 400 tamu untuk tipe standing party. “Tidak perlu lagi ada hiasan-hiasan lain di pelaminan, karena pelaminannya sendiri sudah cantik,” Sugi sedikit berpromosi. Tapi memang benar begitu adanya.Di balik pelaminan ini ada ruang privat di mana tersimpan almari, piano kuno, dan perhiasan-perhiasan dan aksesoris dari perak. Sebuah pintu dan empat jendela kayu yang masing-masing mempunyai engsel antik, memberikan akses dari bagian tengah ke bagian kanan dan kiri rumah yang berupa koridor terbuka membentuk pola U dengan bagian belakang rumah. Koridor yang berhiaskan lukisan-lukisan bernuansa ceria ini tampak elegan dikontraskan dengan foto-foto kuno, serta meja dan kursi yang kuno pula. Dari sini, setelah melewati taman kecil dengan kolam berisi ikan-ikan mas dan bunyi gemericik air, sampailah saya ke kamar-kamar untuk menginap, yang juga membentuk struktur huruf U mengelilingi rumah utama.

Kaca-patri-kamar-Roemahkoe-Solo

Kaca patri dan aksen kayu mendominasi hingga ke kamar.

Di sini ada 10 kamar tipe deluxe (tarif Rp 375 ribu/malam), 1 junior suite (Rp 430 ribu/malam), dan 2 royal suite (Rp 645 ribu/malam). Meski tak bisa melongok royal suite-nya karena saat itu sedang dihuni tamu, masuk ke kamar deluxe pun membuat saya sangat terkesan: tempat tidur kayu yang terletak di atas platform yang ditinggikan dan dilapis plywood; hiasan kelambu di atasnya; foto-foto dan furnitur kuno; serta jendela kayu dengan kaca patri berwarna-warni. Well, apa yang lebih cantik daripada sebuah jendela kayu dengan aksen kaca patri? Bahkan hotel bintang lima pun tak memiliki kemewahan ini.

Laras Restaurant, di belakang rumah utama, menarik minat saya untuk mampir. Tiga wanita tengah menikmati makanan sambil bercakap-cakap santai, tak jauh dari dinding yang berhiaskan lukisan besar. Meski menyajikan juga menu internasional, saya memesan menu tradisional yang menjadi signature restoran ini: nasi jemblung, wedang cemol, es cincau kawista, dan pisang owol. Bonus: satu basket krupuk gendar.

Nasi-Jemblung-Roemahkoe-Solo

Nasi Jemblung dengan lubang berisi semur di tengah.

Nasi jemblung hadir dengan penyajian yang unik: beralaskan daun pisang, nasi dibuat melingkar seperti roda, bagian lubang di tengahnya diisi bistik (semur) lidah sapi dengan kuah yang kental dan lezat. Sambal, lalapan, dan krupuk rambak menjadi pelengkap menu ini.

Wedang cemol berupa minuman panas yang terdiri dari wedang jahe, kacang tanah, kelapa muda, irisan roti, dan kolang-kaling. Aroma jahenya lebih kuat, mirip aroma yang keluar dari masakan India. “Itu karena jahenya kami bakar dulu, lalu ditumbuk, baru kemudian direbus,” jelas Sugi.

Es cincau-nya kelihatan simpel, tapi rasanya berbeda karena menggunakan sirup kawista yang didatangkan dari Rembang, kota di Jawa Tegah bagian timur laut. Tak ketinggalan, pisang cemol, yang memadukan kontras antara panas dan dingin, menjadi hidangan penutup yang sempurna. Empat potong pisang bakar ditaburi meses, disajikan bersama satu skup es krim stroberi. Hmmm….

Lukisan-di-dinding-Roemahkoe-Solo

Duduk di mana saja terasa berkesan.

Kita bisa duduk di mana saja untuk menikmati sajian ini. Kalau datang malam jumat atau malam minggu, pasti pengalaman dinner di sini akan lebih mengesankan, karena setiap malam jumat ada musik live, sedangkan malam minggu ada gamelan live. Para tamu juga bisa minta diajari menabuh gamelan, membatik, atau diramal dengan primbon (horoskop Jawa).

Oh ya, berapa yang harus saya bayar untuk makanan-makanan ini? Ternyata hanya Rp 63 ribu.

Kalau saja tak harus meliput karnaval batik, saya akan menghabiskan waktu lebih lama menikmati kecantikan rumah ini. Satu catatan penting saya simpan begitu becak yang membawa saya meninggalkan Roemahkoe: saya harus menginap di sini kalau ke Solo lagi.

Roemahkoe Bed & Breakfast
Jl. Dr. Rajiman No. 501 Laweyan, Solo 57148
Tel: 0271-714024, Fax: 0271-720097
E-mail: roemahkoe@indo.net.id
www.roemahkoe.info

Standard