Ngarai Sianok Bukittinggi
Indonesia, Journey

Cholesterol Journey

Jam-Gadang-Bukittinggi-landmark-kota

Kenangan menyantap makanan yang aneh-aneh membuat saya selalu ingin kembali ke kota ini.

 

Rasanya aneh saja kalau saya belum pernah ke Bukittinggi. Padahal kota ini merupakan destinasi wisata  paling terkenal di Pulau Sumatra, bahkan menjadi tujuan utama wisatawan Malaysia. Makanya, setelah membaca  artikel-artikel pengalaman perjalanan ke Bukittinggi di www.cimbuak.net, dan melihat foto-foto keindahan alam Sumatra Barat di www.west-sumatra.com, keinginan saya pun makin kuat. Libur panjang Agustus lalu, saya pun mengunjungi kota perbukitan yang konon katanya paling cantik di dunia ini.

Mampir ke SMS

Keluar dari Bandara Internasional Minangkabau, saya segera disambut Jhoni (35), sopir dari Hotel Bukittinggi Hills, di mana saya akan menginap.

Sate-Mak-Sukur-sate-padang-legendaris

Sate Mak Sukur yang tidak pelit seperti di Jakarta.

“Bukittinggi masih sekitar 90 kilometer lagi ke arah utara,” tutur bapak dua anak yang sudah delapan tahun bekerja di hotel ini. Itu kalau memakai rute yang melewati Lembah Anai dan kota Padang Panjang. Kalau memakai rute Pariaman-Danau Maninjau-Kelok 44, jaraknya bisa mencapai 170 kilometer. Saya tidak memilihnya, takut menjadi tua di jalan. Lagipula ada beberapa tempat yang akan saya kunjungi di sepanjang rute pertama. Itu pula sebabnya saya memilih jadwal penerbangan pagi, agar bisa mampir-mampir dulu sebelum check-in.

Air-Terjun-Lembah-Anai-Sumatera-Barat

Mengabadikan kenangan keluarga di Air Terjun Lembah Anai.

Jalan yang kami lalui cukup lebar dan mulus, dan mulai berkelok-kelok serta menanjak setelah melewati air terjun Lembah Anai. Air terjun yang ada di kiri jalan ini, sekitar 10 kilometer sebelum kota Padang Panjang, konon tidak pernah kering meski di musim kemarau panjang.

Menjelang masuk kota Padang Panjang, kami mampir ke Sate Mak Syukur (SMS), yang cabang-cabangnya juga tersebar di Jakarta. Restoran penuh oleh pengunjung, dan kami mendapat tempat di lantai dua. Begitu sate padang dihidangkan, saya baru sadar, kalau selama ini saya ‘tertipu’ oleh penjual sate padang keliling di Jakarta. Sate di SMS ini besar-besar, mungkin satu potong sate bisa menjadi satu tusuk sate kalau di Jakarta!

Padang Panjang kotanya kecil. Kami melewatkan saja Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) serta Perkampungan Minangkabau yang ada di pusat kota, karena tak lama kemudian, jalanan macet. Ternyata, Senin ini adalah hari pasar di Koto Baru, pusat sayur-mayur di Sumatra Barat. Truk-truk pengangkut sayur melakukan bongkar muat di pinggir jalan.

Untuk melepaskan diri sementara dari kemacetan, sebelum pasar, kami belok kiri ke Pandai Sikek, pusat kerajinan songket dan ukiran kayu. Di sini ada beberapa toko yang menjual tenun songket, meski orang-orang yang mengerjakan tenunannya sendiri tidak saya lihat, karena ada di desa-desa sekitar sini. Satu set sarung bantal, yang terdiri dari 4 sarung dan 1 taplak meja, dijual Rp450 ribu. Satu set kebaya warna pink dijual Rp475 ribu, sedangkan sarung songket untuk bawahan dijual Rp1,1 juta.  “Harganya agak mahal, karena menenun songket butuh waktu dan keterampilan khusus,” kata Erma Yulnita, di toko Satu Karya. “Untuk membuat satu selendang saja dibutuhkan 850 baris benang, sementara untuk sarung sampai 2.000 benang.”

Berbeda dengan kain biasa, yang makin mahal kalau memakai banyak jenis benang, untuk kain songket justru sebaliknya. Yang memakai satu jenis benang malah yang paling mahal, karena membuatnya lebih sulit, dan juga hasilnya makin halus. Begitu kami hendak pergi, satu bis berisi rombongan ibu-ibu dari Malaysia, mampir ke toko itu.

Jam Gadang, Pusat Keramaian

Bukittinggi terletak di ketinggian 1.000 meter di atas pemukaan laut, jadi hawanya sejuk dan nyaman untuk berjalan-jalan, sekalipun siang hari. Di selatan dan tenggara kota membentang Ngarai Sianok, di belakangnya menjulang Gunung Singgalang. Di sebelah timur terletak Gunung Marapi, sedangkan di utara ada sisa-sisa benteng Fort de Kock dan kebun binatang. Berbeda dengan alun-alun pusat kota lain yang biasanya besar, pusat kota Bukittinggi kecil saja, berupa taman beton berukuran sekitar 25 x 25 meter persegi. Di sini berdiri kokoh Jam Gadang, landmark kota. Kontur tanah di sini berjenjang dan juga tidak landai, sehingga kadang bangunan Jam Gadang tampak miring seperti Menara Pisa.

Gunung Singgalang dan kabut putih yang menutupi Ngarai Sianok.

Gunung Singgalang dan kabut putih yang menutupi Ngarai Sianok.

Kalau arah menjadi hal penting, maka sebagai patokan, Hotel Bukittinggi Hills menghadap ke utara –meski perasaan saya bilang hotel itu  menghadap ke barat– sedangkan pagar masuk bangunan Jam Gadang, yang digembok, berada di sisi timur.

Bukittinggi juga kota yang kecil. Pusat kotanya bisa dicapai hanya dengan jalan kaki. Museum Bung Hatta, Rumah Makan Simpang Raya, ada di sekeliling Jam Gadang. Jalan utama di kota ini, Jl. Ahmad Yani, merupakan pusat kafe dan hotel-hotel kecil. Sedangkan Jl. Sudirman, pusat makan di malam hari, juga hanya 5 menit dengan berjalan kaki dari sini.

Hari libur akhir pekan membuat suasana Jam Gadang sore itu ramai sekali oleh para pengunjung yang duduk-duduk atau berfoto, serta para pedagang. Bendi-bendi pun berjejer menunggu penumpang. Memang tak ada air mancur atau burung-burung dara di sini, namun keramahan kota ini segera menyapa saya. Zainal, pedagang gelembung busa, menjadi kenalan pertama saya. Wajahnya mengingatkan saya kepada tukang cukur langganan saya di Duren Tiga, yang berasal dari Pariaman.

Mendung tak menyurutkan orang-orang ke Jam Gadang.Bangunan Jam Gadang dibuat tahun 1926 di masa kolonial Belanda. Bangunan lima tingkat ini puncaknya berujud rumah bagonjong, rumah adat Minangkabau, yang sering juga disebut rumah gadang. Tingkat dua menjadi tempat tidur para penjaganya. Konon, Jam Gadang yang berdiameter 80 cm ini merupakan hadiah Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris kota Bukittinggi waktu itu. Rook Maker lalu memerintahkan arsitek dan pemborong lokal, Yazid Abidin dan Haji Moran, untuk membuat bangunannya, yang setinggi 26 meter dan menghabiskan biaya 3.000 gulden.

Standard
Motif tenun songket Pantai Sikek Sumatera Barat
Indonesia, Journey

Ratu Songket Pandai Sikek

Kapan benang masuk dari bawah atau atas itu perlu skill tersendiri untuk menenun songket Pandai Sikek

Mempelajari mekanisme menenun songket saja pusing, apalagi menyelesaikan tenunannya yang bisa berbulan-bulan.

 

Dari arah kota Padang Panjang, mobil kami berbelok ke kiri memasuki jalan kecil, begitu melihat papan petunjuk ke arah Pandai Sikek, sebelum pasar Koto Tinggi. Pemandangan berganti menjadi suasana pedesaan, dan beberapa rumah di kanan-kiri masih terlihat ada yang rusak, bekas terkena gempa beberapa waktu lalu. Untunglah, tampaknya gempa di desa di kaki Gunung Singgalang ini tidak parah, sehingga kehidupan sudah berjalan normal kembali.

Kami melewati deretan toko yang menjual ukiran kayu serta kain-kain songket. Keduanya memang kerajinan khas daerah ini. Ukiran umumnya dikerjakan laki-laki, sedangkan songket umumnya dikerjakan kaum perempuan. Kalau kita mengikuti paket wisata, umumnya penyelenggara tur akan mengantar kita ke toko-toko ini. Di bagian belakang toko biasanya tersedia alat tenun songket, dan karyawan toko akan memberikan ‘demo kilat’ tentang cara membuat songket, jika kita memintanya.

Tapi bukan ini yang kami cari. Pak Mulyadi dan Pak Ujang, dari Dinas Pariwisata Sumbar, hendak mengantar kami ke Hajjah Yurni, salah satu sesepuh dan guru menenun songket di Pandai Sikek. Atas jasa-jasanya memajukan songket, beliau pernah menerima penghargaan Upakarti tahun 1989 dari Presiden Suharto.

Penenun songket Pandai Sikek yang sudah ahli pun dalam sehari paling bisa menyelesaikan 6 cm kain.

Penenun songket Pandai Sikek yang sudah ahli pun dalam sehari paling bisa menyelesaikan 6 cm kain.

Tak jauh dari pasar Pandai Sikek, dari sebuah rumah berwarna oranye dan dua pohon bougenville merah dan putih di halaman, muncul wajah orang yang kami cari. Meski usianya sudah di atas 60 tahun, rona kecantikan masih terlihat jelas pada wanita yang berkulit kuning langsat dan berdagu runcing itu.

Kami berempat lalu mengikuti langkah beliau, melewati pematang sawah, kolam ikan, menuju rumah salah satu mantan muridnya. Udara segar menyertai cuaca yang sedikit berkabut. Gunung Singgalang tampak perkasa di depan mata, sedangkan di belakang kami menjulang Gunung Merapi.

Linda, murid yang kami cari, tengah menenun sebuah selendang songket di ruang tamu rumah, yang sekaligus menjadi tempat kerjanya. Ditemani putranya yang masih balita, selendangnya baru separuh jadi.

Sekilas, tampaknya apa yang dikerjakannya sederhana: memasukkan benang dari sisi kanan ke kiri melewati rangkaian benang linen yang membentang memanjang, gerakkan sisir besi besar, suara benturan ‘pak-pak’, lalu terbentuklah satu garis kain baru dari persilangan dua benang ini. Tapi sebenarnya ini hanya bagian kecil dari keseluruhan proses.

Standard