Motif tenun songket Pantai Sikek Sumatera Barat
Indonesia, Journey

Ratu Songket Pandai Sikek

Kapan benang masuk dari bawah atau atas itu perlu skill tersendiri untuk menenun songket Pandai Sikek

Mempelajari mekanisme menenun songket saja pusing, apalagi menyelesaikan tenunannya yang bisa berbulan-bulan.

 

Dari arah kota Padang Panjang, mobil kami berbelok ke kiri memasuki jalan kecil, begitu melihat papan petunjuk ke arah Pandai Sikek, sebelum pasar Koto Tinggi. Pemandangan berganti menjadi suasana pedesaan, dan beberapa rumah di kanan-kiri masih terlihat ada yang rusak, bekas terkena gempa beberapa waktu lalu. Untunglah, tampaknya gempa di desa di kaki Gunung Singgalang ini tidak parah, sehingga kehidupan sudah berjalan normal kembali.

Kami melewati deretan toko yang menjual ukiran kayu serta kain-kain songket. Keduanya memang kerajinan khas daerah ini. Ukiran umumnya dikerjakan laki-laki, sedangkan songket umumnya dikerjakan kaum perempuan. Kalau kita mengikuti paket wisata, umumnya penyelenggara tur akan mengantar kita ke toko-toko ini. Di bagian belakang toko biasanya tersedia alat tenun songket, dan karyawan toko akan memberikan ‘demo kilat’ tentang cara membuat songket, jika kita memintanya.

Tapi bukan ini yang kami cari. Pak Mulyadi dan Pak Ujang, dari Dinas Pariwisata Sumbar, hendak mengantar kami ke Hajjah Yurni, salah satu sesepuh dan guru menenun songket di Pandai Sikek. Atas jasa-jasanya memajukan songket, beliau pernah menerima penghargaan Upakarti tahun 1989 dari Presiden Suharto.

Penenun songket Pandai Sikek yang sudah ahli pun dalam sehari paling bisa menyelesaikan 6 cm kain.

Penenun songket Pandai Sikek yang sudah ahli pun dalam sehari paling bisa menyelesaikan 6 cm kain.

Tak jauh dari pasar Pandai Sikek, dari sebuah rumah berwarna oranye dan dua pohon bougenville merah dan putih di halaman, muncul wajah orang yang kami cari. Meski usianya sudah di atas 60 tahun, rona kecantikan masih terlihat jelas pada wanita yang berkulit kuning langsat dan berdagu runcing itu.

Kami berempat lalu mengikuti langkah beliau, melewati pematang sawah, kolam ikan, menuju rumah salah satu mantan muridnya. Udara segar menyertai cuaca yang sedikit berkabut. Gunung Singgalang tampak perkasa di depan mata, sedangkan di belakang kami menjulang Gunung Merapi.

Linda, murid yang kami cari, tengah menenun sebuah selendang songket di ruang tamu rumah, yang sekaligus menjadi tempat kerjanya. Ditemani putranya yang masih balita, selendangnya baru separuh jadi.

Sekilas, tampaknya apa yang dikerjakannya sederhana: memasukkan benang dari sisi kanan ke kiri melewati rangkaian benang linen yang membentang memanjang, gerakkan sisir besi besar, suara benturan ‘pak-pak’, lalu terbentuklah satu garis kain baru dari persilangan dua benang ini. Tapi sebenarnya ini hanya bagian kecil dari keseluruhan proses.

Standard