Summer Palace Beijing di pagi musim gugur
Journey, Mancanegara

Menjadi Tamu Ratu Cixi

Aman at Summer Palace Beijing arrival hall

Menginap di Aman at Summer Palace serasa hendak menghadap kaisar. Kompleks istana seluas 290 hektar menjadi  halaman belakang resor ini.

 

Suhu yang hangat dan senyum yang ramah menyambut saya begitu memasuki Arrival Pavillion di Aman at Summer Palace, Beijing. Di musim gugur mendekati musim dingin seperti November ini, suhu di luar hampir mendekati 0 derajat celsius. Menemukan sebuah tempat dan sambutan yang hangat menjadi penghibur saya yang tengah menggigil kedinginan.

Resor mewah yang berada tepat di samping pintu timur kompleks Istana Musim Panas Beijing ini memang menjadi tempat retret eksklusif bagi orang-orang yang ingin menjauhi keriuhan Beijing. Ataupun, bagi yang ingin mengeksplorasi Summer Palace, yang pernah menjadi kediaman Ratu Cixi (memerintah 1861-1908 M) dari Dinasti Qing.

Saya menempati sebuah kamar Deluxe Suite yang luas di kiri depan Arrival Pavillion. Suite ini mempunyai kamar tidur dengan meja ketik, ruang tamu dengan daybed, serta kamar mandi yang terpisah. Suite ini merupakan salah satu dari suite baru yang dibangun beberapa tahun lalu. Aman at Summer Palace, yang mulai dibuka pada musim gugur 2008, memiliki 51 kamar dan suite, dengan sepertiganya merupakan bangunan lama yang sudah berusia 100 tahun lebih. Dulu, kompleks ini merupakan tempat tinggal sementara untuk para tamu kerajaan yang hendak menghadap Ratu Cixi.

Aman at Summer Palace Beijing Courtyard Suite Bathroom

Di resor ini, kamar mandinya sama luasnya dengan kamar tidur.

Total, Aman mempunyai 8 guestroom dan 10 courtyard guestroom, yang hampir semuanya dilengkapi tempat tidur kingsize bergaya era Dinasti Ming (1368-1644 M). Lalu 8 Suite, 17 Deluxe Suite, 7 Courtyard Suite, dan 1 Imperial Suite. Semua guestroom dan suite ini mengelilingi halaman dalam yang dipagari bambu-bambu hijau, dan dinaungi pohon-pohon persimmon dengan buahnya yang oranye menghiasi ranting-ranting yang daunnya telah gugur.

Suite Bedroom Aman at Summer Palace

Nuansa kayu yang klasik elegan mendominasi setiap sudut suite.

Nuansa kayu cokelat tua sangat terasa di semua bangunan resor. Gaya bangunannya simpel dan cenderung seragam, namun elegan dan mengingatkan saya pada film Raise the Red Lantern yang dibintangi Gong Li.

Imperial Suite terdiri dari tiga paviliun yang terpisah: paviliun kamar tidur, paviliun belajar, dan paviliun formal untuk rapat yang bisa menampung 18 orang. Pastinya ini diperuntukkan bagi tamu super VIP, entah itu kepala negara, artis papan atas, atau para bilyuner.

The Lounge, yang menghadap ke taman dalam di Arrival Pavillion, bisa dipakai untuk breakfast dan menikmati makanan ringan di sore hari. Di samping Arrival Pavillion, terdapat restoran Naoki, yang menyajikan menu kaiseki, gabungan teknik masak Prancis dengan seni tinggi kuliner Jepang. Menu-menu di sini diganti setiap tiga bulan sekali.

Berdampingan dengan Naoki adalah The Grill, yang menawarkan masakan Barat dengan spesialisasi steak dan seafood panggang. Namun saya beruntung karena bisa mencicipi menu spesial lunch yang bertema jamur truffle. Executive Chef Paolo Vitaletti dengan sempurna menyajikan lima menu kreasinya yang, meski disajikan dalam porsi kecil, namun eksotik dan kaya rasa.

Standard
Forbidden City Beijing
Journey, Mancanegara

Beijing Underground

Petunjuk arah ke Stasiun Subway Tiananmen Timur Beijing

Menjelajah Beijing dengan subway ternyata seru dan banyak drama.

 

Matahari bersinar cerah di Senin pagi itu, tapi tak bisa juga mengurangi rasa dingin yang tiba-tiba menyergap begitu keluar dari hotel Furama Xpress. Beberapa orang berjalan menuju kantor dengan tergesa-gesa, semuanya memakai jas panjang hingga ke lutut, memakai sarung tangan, tutup kepala, dan syal yang melingkari leher. Meski mereka penduduk Beijing, tampaknya tidak tahan juga dengan suhu pagi yang mencapai 7 derajat celsius ini.

Saya berjalan cepat ke arah kanan dari hotel, menyusuri jalan pinggir Sungai Liang Ma yang kering, untuk mencari jembatan supaya bisa menyeberang ke Lufthansa Center. Di depan mal baru ini ada stasiun subway Liang Ma Qiao, yang dari situ saya bisa menjelajah ke segala arah Beijing.

Forbidden City dan Tiananmen Square Beijing

Ke Forbidden City lagi. Penasaran, kemarin belum sempat eksplor.

Berbekal kamera poket dan buku kecil Top 10 Beijing yang mempunyai peta jalur subway (sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Penerbit Erlangga), tujuan saya pagi ini adalah ke Forbidden City, yang terletak tak jauh dari stasiun subway Tiananmen Timur dan Tiananmen Barat, di Jalur Subway 1. Kemarin saya hanya sampai di lapangannya saja, jadi menggunakan waktu sisa sebelum check out dari hotel, saya menyempatkan diri untuk meneruskan kunjungan kemarin itu, sekalian mencoba subway Beijing.

Naik Subway Cuma 2 Yuan

Untuk ke Forbidden City dari Liang Ma Qiao yang ada di Jalur Subway 10, saya mesti ke Guomao dulu, stasiun pertemuan Jalur 1 dan 10, lalu pindah kereta menuju Tiananmen Timur/Barat. Ada 9 jalur subway yang saling berhubungan di Beijing, salah satunya jalur ekspres menuju bandara dari stasiun San Yuan Qiao (Jalur 10) dan Dong Zhi Men (Jalur 13). Dibanding Bangkok yang hanya punya 1 jalur subway yang terhubung dengan 2 jalur skytrain, subway Beijing ini sudah lebih maju. Subway Beijing juga lebih mudah, tinggal membeli tiket magnetik seharga 2 yuan (Rp 2.600) di loket. Tidak perlu beli tiket lagi jika kita pindah jalur ke-7 jalur subway lain, kecuali kalau mau pindah ke jalur ekspres menuju bandara, yang mesti bayar lagi 25 yuan sekali jalan.

Subway metro Beijing

Kereta subway Beijing juga penuh penumpang.

Saya sempat keliru memilih jalur ke Bagou, yang berlawanan arah dengan Guomao. Untungnya begitu hendak sampai di stasiun berikutnya, garis lampu hijau yang ada di atas pintu kereta –yang menunjukkan arah jalan kereta– menyadarkan saya. Tidak usah panik, tinggal keluar dari kereta, lalu naik kereta dari jalur sebaliknya. Saat suhu dingin seperti ini, stasiun dan kereta subway adalah tempat paling nyaman untuk menghangatkan diri, meskipun tak ada penjual makanan atau kopi di sini. Dan tampaknya semua orang juga tidak ada yang makan atau minum.

Guomao Station Subway Beijing

Di Stasiun Guomao, lorong ini bisa tiba-tiba dipenuhi lautan manusia yang mau pindah jalur subway.

Standard
Great Wall of China - Tembok China
Journey, Mancanegara

Salju Pertama di Beijing

Forbidden City Beijing Tiananmen Square

Berkunjunglah ke Beijing bulan September atau Oktober, saat musim gugur. November hingga Januari, siap-siap saja badan menggigil.

 

Badan saya mendadak seperti membeku begitu keluar dari Beijing Airport menuju bus yang telah parkir menunggu rombongan kami. Ya, pertengahan November ini memang musim gugur mendekati winter di Beijing, namun saya tidak mengira dinginnya seperti ini. Ditambah angin yang kencang, belum menuju bis pun hidung saya sudah mulai mengeluarkan ingus.

Beijing saat autumn musim gugur

Beijing menjelang akhir musim gugur.

“Suhu udara pagi ini sekitar 7 derajat celsius. Saya juga tidak tahu mengapa anginnya kencang. Kemarin belum seperti ini,” tutur Mr. Harry Liu, pemandu lokal yang akan memandu kami, 20 orang dari Jakarta. Untungnya di dalam bus cukup hangat, jadi saya bisa mulai menikmati jalan-jalan lebar menuju pusat kota, dengan pohon-pohon tinggi yang daunnya sudah menguning kecokelatan di kedua sisi jalan. Rasa dingin makin menghilang karena Mr. Harry pintar menghangatkan suasana dengan penjelasan dan humor-humornya, karena dia pintar berbahasa Indonesia.

Hanya 30 menit, kami tiba di FuramaXpress Hotel di distrik Chaoyang, di mana kami akan menginap. Karena belum bisa check in, kami sarapan pagi dulu, lalu berganti kostum. Saya memakai baju rangkap tiga, kaus kaki rangkap dua, sarung tangan, dan tutup kepala. Kami naik bus lagi menuju Lapangan Tiananmen yang terletak di pusat kota, atau kata Mr. Harry, di Ring 1. Hotel kami terletak di Ring 2.

Mao di Tiananmen

Monument for the People's Heroes, Tiananmen Square Beijing

Langit membiru di belakang deretan patung di Monument for the People’s Heroes, Lapangan Tiananmen

Pagi ini cerah, matahari bersinar terang, dan langit biru nyaris tanpa awan. Tapi itu tadi, dingin! Setelah melewati lorong pemeriksaan barang bawaan, kami sampai di ujung selatan Lapangan Tiananmen, dengan Gerbang Zhengyang dan Mausoleum Mao Zedong di hadapan kami. Lapangan ini membujur ke utara sana. Ujungnya adalah pintu masuk ke Forbidden City, setelah menyerangi Jalan West Chang An dan jembatan Sungai Jinshui terlebih dulu. Menjadi a must visit place bagi orang yang pertama kali ke Beijing, tak heran lapangan ini sudah penuh oleh para turis yang, kalau saya perhatikan, sebagian besar malah turis domestik alias orang China sendiri.

Di depan Mausoleum Mao Zedong, orang berduyun-duyun keluar dari gedung yang menyimpan jasad pendiri Republik Rakyat China itu. Sepertinya pintu yang di dekat Gerbang Zhengyang ini, dengan dua patung di kanan-kirinya, ini merupakan pintu keluar. Pintu masuknya di sisi utara, agak ke tengah dari Lapangan Tiananmen.

Kalau saja anginnya tidak kencang, menyusuri lapangan berukuran 880 x 500 meter ini pasti akan mengasyikkan. Sebab lapangan yang konon terbesar di dunia dan bisa menampung 500 ribu orang ini di sekelilingnya berdiri tempat-tempat menarik. Di tengah lapangan berdiri kokoh tugu Monument to the People’s Heroes. Para turis lokal berebut berfoto-foto di depan patung monumen yang didedikasikan untuk para martir di masa revolusi China abad ke-19 dan 20. Di sisi timur lapangan ada National Museum of China, sementara di sisi barat ada the Great Hall of the People, gedung kongres yang bisa menampung 10.000 orang.

Standard