Di sisi utara, terpisah oleh Jalan West Chang An tadi, berdiri kokoh Gerbang Tiananmen, yang artinya ‘Gerbang Kedamaian Surgawi’. Gerbang berwarna merah ini di atasnya berkibar bendera-bendera merah. Foto Mao Zedong, yang konon berat bingkainya sampai 2 ton, bertengger anggun di atas pintu utama dari lima pintu yang ada di gerbang ini.
Gratis Masuk Forbidden City
Tiananmen ini dibangun tahun 1415 di masa Dinasti Ming, dan menjadi pintu masuk Forbidden City. Kota Terlarang ini selama hampir 500 tahun menjadi istana kekaisaran, mulai dari Dinasti Ming hingga Dinasti Qin, dinasti terakhir. Disebut Kota Terlarang, karena kompleks istana yang dibangun selama 14 tahun ini dulu hanya boleh dimasuki oleh anggota keluarga kaisar. Namun sekarang sudah dibuka untuk umum, dan pemerintah China lebih suka menyebutnya sebagai Imperial Palace Museum.
Yang saya tahu kemudian, memasuki Gerbang Tiananmen dan gerbang berikutnya ini gratis. Baru di gerbang ketigalah, yang memagari kompleks inti istana, pengunjung mesti membeli tiket seharga 40 yuan (sekitar Rp 54.000). Mengingat kompleks istana ini sangat luas, sekitar 75 hektar dengan 980 bangunan di dalamnya, jangan bernafsu bisa mengelilinginya dalam 1 atau 2 hari. Mungkin seminggu -bagi yang suka foto-foto- baru bisa mengelilingi semuanya.
Beli Manisan Plum atau Jubah Kaisar?
Kami kemudian makan siang di Red Rose Restaurant, salah satu resto muslim di seberang Stadion Buruh. Di depan resto yang bernuansa China Barat ini ada penjual seorang penjual cemilan padat yang dibuat dari campuran gula, kacang kenari, dan manisan buah plum. Hmm, menyantap sepotong cemilan saja rasanya kenyang, sampai berapa lama bisa menghabiskan manisan satu sepeda? Ia mengikuti kami sampai salat duhur di Masjid Nan Dou Ya, salah satu masjid tertua di Beijing. Bentuk bangunan masjid ini seperti bangunan tradisional China biasa, sama sekali tidak mirip dengan masjid di Indonesia.