Great Wall of China - Tembok China
Journey, Mancanegara

Salju Pertama di Beijing

Forbidden City Beijing Tiananmen Square

Berkunjunglah ke Beijing bulan September atau Oktober, saat musim gugur. November hingga Januari, siap-siap saja badan menggigil.

 

Badan saya mendadak seperti membeku begitu keluar dari Beijing Airport menuju bus yang telah parkir menunggu rombongan kami. Ya, pertengahan November ini memang musim gugur mendekati winter di Beijing, namun saya tidak mengira dinginnya seperti ini. Ditambah angin yang kencang, belum menuju bis pun hidung saya sudah mulai mengeluarkan ingus.

Beijing saat autumn musim gugur

Beijing menjelang akhir musim gugur.

“Suhu udara pagi ini sekitar 7 derajat celsius. Saya juga tidak tahu mengapa anginnya kencang. Kemarin belum seperti ini,” tutur Mr. Harry Liu, pemandu lokal yang akan memandu kami, 20 orang dari Jakarta. Untungnya di dalam bus cukup hangat, jadi saya bisa mulai menikmati jalan-jalan lebar menuju pusat kota, dengan pohon-pohon tinggi yang daunnya sudah menguning kecokelatan di kedua sisi jalan. Rasa dingin makin menghilang karena Mr. Harry pintar menghangatkan suasana dengan penjelasan dan humor-humornya, karena dia pintar berbahasa Indonesia.

Hanya 30 menit, kami tiba di FuramaXpress Hotel di distrik Chaoyang, di mana kami akan menginap. Karena belum bisa check in, kami sarapan pagi dulu, lalu berganti kostum. Saya memakai baju rangkap tiga, kaus kaki rangkap dua, sarung tangan, dan tutup kepala. Kami naik bus lagi menuju Lapangan Tiananmen yang terletak di pusat kota, atau kata Mr. Harry, di Ring 1. Hotel kami terletak di Ring 2.

Mao di Tiananmen

Monument for the People's Heroes, Tiananmen Square Beijing

Langit membiru di belakang deretan patung di Monument for the People’s Heroes, Lapangan Tiananmen

Pagi ini cerah, matahari bersinar terang, dan langit biru nyaris tanpa awan. Tapi itu tadi, dingin! Setelah melewati lorong pemeriksaan barang bawaan, kami sampai di ujung selatan Lapangan Tiananmen, dengan Gerbang Zhengyang dan Mausoleum Mao Zedong di hadapan kami. Lapangan ini membujur ke utara sana. Ujungnya adalah pintu masuk ke Forbidden City, setelah menyerangi Jalan West Chang An dan jembatan Sungai Jinshui terlebih dulu. Menjadi a must visit place bagi orang yang pertama kali ke Beijing, tak heran lapangan ini sudah penuh oleh para turis yang, kalau saya perhatikan, sebagian besar malah turis domestik alias orang China sendiri.

Di depan Mausoleum Mao Zedong, orang berduyun-duyun keluar dari gedung yang menyimpan jasad pendiri Republik Rakyat China itu. Sepertinya pintu yang di dekat Gerbang Zhengyang ini, dengan dua patung di kanan-kirinya, ini merupakan pintu keluar. Pintu masuknya di sisi utara, agak ke tengah dari Lapangan Tiananmen.

Kalau saja anginnya tidak kencang, menyusuri lapangan berukuran 880 x 500 meter ini pasti akan mengasyikkan. Sebab lapangan yang konon terbesar di dunia dan bisa menampung 500 ribu orang ini di sekelilingnya berdiri tempat-tempat menarik. Di tengah lapangan berdiri kokoh tugu Monument to the People’s Heroes. Para turis lokal berebut berfoto-foto di depan patung monumen yang didedikasikan untuk para martir di masa revolusi China abad ke-19 dan 20. Di sisi timur lapangan ada National Museum of China, sementara di sisi barat ada the Great Hall of the People, gedung kongres yang bisa menampung 10.000 orang.

Standard