Konon, proyek Tembok Raksasa ini mulai dibangun di masa Dinasti Chu di abad ke-7 SM, untuk mencegah serangan suku-suku nomadik dari utara. Lalu pembangunan diteruskan oleh Dinasti Qin, Dinasti Han, dan dinasti-dinasti selanjutnya terutama Dinasti Ming (1368-1644 M). Di masa berikutnya, dengan ditemukannya bubuk mesiu dan meriam, Tembok China ini dianggap tidak efektif lagi sebagai benteng pertahanan, sehingga lama-lama ditelantarkan. Namun selama 2700 tahun sejarahnya, konon cuma satu orang yang berhasil menembus lima gerbang tembok raksasa ini. Salah satunya Juyongguan Pass ini. Orang itu adalah Genghis Khan, pemimpin bangsa Mongol, yang berhasil merebut pos ini dua kali, tahun 1211 dan 1213 M. Dan seperti sejarah telah menulis, cucunya, Kubilai Khan, berhasil menguasai hampir seluruh daratan China dan mendirikan Dinasti Yuan (1271-1368 M).
Menjadi ‘Laki-laki Sejati’
Begitu sampai di Juyongguan Pass, kami pun berfoto-foto, lalu masing-masing segera menyebar untuk mendaki Great Wall yang ada di depan mata.
Tapi… nyali saya langsung ciut begitu melihat bagian yang menanjak hampir vertikal dari tembok ini. Tembok batu setinggi 9,5 meter dengan lebar sekitar 6 meter ini tidak semudah kalau hanya melihat fotonya saja. Jarak antar pos jaga di rangkaian tembok ini sekitar 100 meter, dan dari satu pos menuju pos lainnya saja sudah hampir seperti naik gunung. Tak heran jika sebagian turis hanya berfoto-foto di Cloud Platform, menara pengawas di pusat Juyongguan Pass, yang rendah dan datar.

Menuju satu pos Tembok China saja rasanya seperti mendaki gunung.
Di buku The Great Wall China, yang saya dapat kalau berfoto di Tembok China dan membayar 200 yuan, saya melihat foto Heavenly Bridge, salah satu bagian Tembok China yang nyaris vertikal di Simatai. Bisa dibayangkan betapa beratnya membuat bagian tembok ini dan juga tugas para prajurit yang menjaganya dulu. Terlebih kalau mengingat panjang tembok ini sampai 5.600 mil atau 8.851,8 km.
Eh, ada yang menarik di buku ini. Di balik sampul depannya, terdapat sertifikat sebagai pengesahan bahwa kita pernah menaiki Tembok China. Satu kalimat lucu yang ada di sertifikat itu berbunyi “He who does not reach The Great Wall is not a true man”. Alhamdulillah, berarti saya termasuk laki-laki sejati dong, karena sudah menaiki Tembok China!
Salju dari Balik Jendela

Lagi, godaan berbelanja suvenir cloisonne.
Tak jauh dari Tembok China, kami mampir ke sebuah pabrik cloisonne, kerajinan menghias logam tembaga dengan pola-pola lukisan yang ditempel dengan bantuan enamel. Teknik membuat cloisonne cukup rumit, karena memerlukan proses pembakaran berkali-kali sampai diperoleh produk akhir yang cantik, colorful dan mengilat. Jenis produknya bermacam-macam, mulai dari vas bunga, aksesoris natal, mainan anak-anak, sampai vas-vas bunga dan gentong seukuran tinggi orang dewasa.
Kami makan siang di Golden Palace Restaurant, yang terletak di lantai dua pabrik ini. Yang mengesankan, saat kami makan, tiba-tiba hujan turun, dan angin yang datang dari bukit-bukit sekitar Juyongguan Pass membawa serpihan-sepihan salju. Sepertinya ini hujan salju pertama yang turun di Beijing. Meski hanya lima menit dan cuma menikmatinya dari balik kaca, saya mendadak jadi ingin tahu, bagaimana rasanya kalau menikmati hujan salju ini lebih lama, saat musim dingin tiba.

Sebentar lagi Tembok China juga akan membeku. [by Andrea Leopardi on Unsplash]
Beli Pasmina, Beliin Es Krim
Kami menghabiskan yuan dengan berbelanja di Silk Street, pusat barang-barang ‘aspal’ di Beijing. “Tawarlah sepersepuluh dari harga yang diberikan pedagang,” pesan Harry. Sebuah nasihat yang kemudian saya lupa.