Kiri ke kanan: Gunung Bromo, Batok, dan Semeru
Indonesia, Journey

Mendadak Batok

Padang savana Gunung Bromo

Entah dorongan apa yang menggelitik kedua kaki ini, mendadak saya ingin mendaki Gunung Batok.

 

Pak Purnawan, teman yang kami tunggu-tunggu karena katanya mau ikut mendaki, ternyata tak kunjung datang. Padahal saya dan sang pemandu, Pak Mulyadi, sudah menunggu dari pukul 6 pagi. Sekarang sudah pukul 8, sudah telat sekali. Tapi yang ditunggu tak juga datang, dan tak bisa dihubungi. Jadi ya, dengan terpaksa, kami putuskan untuk berangkat saja tanpa menunggu lagi.

Menyusuri jalan aspal Desa Ngadas yang terletak di punggungan gunung sebelah selatan Gunung Bromo ini, saya kesal sekaligus cemas. Matahari bersinar cerah dan langit membiru di atas kami, sampai jauh sekali ke selatan sana, melewati puncak Gunung Semeru. Ini sudah terlalu siang untuk mendaki Gunung Batok, yang menjadi tujuan kami. Kalau jalan dari tadi pagi, mungkin sekarang kami sudah berada di puncaknya dan menikmati langit biru dengan lebih puas lagi. Sebab dari sana kami bisa leluasa menikmati puncak Semeru itu tanpa terhalang pepohonan, dan juga… pemandangan kawah Gunung Bromo. Kalau nanti, nggak tau deh, bisa menikmati langit biru atau tidak. Bukankah kami mesti mendaki dulu, mungkin bebeberapa jam, sebelum bisa sampai ke puncak Gunung Batok?

Gunung Semeru dari Desa Ngadas, Malang

Semeru yang membiru, namun malah membuat cemas karena saya sudah kesiangan.

Jip yang dikemudikan Pak Mul mesti berjuang dulu melewati pertigaan Jemplang, satu-satunya akses menuju padang savana dan lautan pasir Bromo dari arah Ngadas maupun Desa Ranupani. Di pertigaan yang menurun ini, jalan rusak parah, ditambah lagi debu yang mengepul tinggi karena ini musim kemarau. Mobil dan motor yang melewati pertigaan ini, baik dari arah Bromo maupun yang hendak menuju ke sana, mesti antri dengan sistem buka-tutup. Yang membonceng motor terpaksa turun berjalan kaki di tengah tabir debu, plus nafas memburu kalau mereka dari bawah karena jalannya menanjak. Sementara, yang menyetir motor pun susah-payah didorong oleh teman atau tenaga-tenaga sukarelawan yang mengatur lalu-lintas di sini, karena tak kuasa melawan tebalnya debu dan batu-batu jalan yang membuat roda-roda motor mereka terperosok.

Pertigaan Jemplang, Desa Ngadas

Semua berjibaku agar bisa lolos dari Pertigaan Jemplang.

Lepas dari pertigaan Jemplang, pemandangan padang savana dan Bukit Teletubbies dengan rumput-rumput meranggas hijau kecokelatan membentang di depan mata. Gunung Kursi dan Gunung Jantur mengapit di kiri-kanan. Debu-debu masih mengepul, karena jalur ini ramai oleh jip-jip dan motor wisatawan yang menjelajahi area ini. Maklum, ini hari Minggu. Tapi sinar matahari yang makin terang membuat kami mempercepat laju jip. Kami tidak ingin mendaki dengan jalur pendakian telah panas terpanggang matahari.

Inspirasi Bukit Kasih

Sebenarnya ini pendakian dadakan, terinsipirasi oleh kejadian kemarin saat saya dan Pak Mul mencari spot memotret sunrise dari arah Bukit Cinta, Penanjakan. Berjalan terus ke kiri dari bukit itu menyusuri tepi patahan gunung, akhirnya kami menemukan spot baru yang sepi tanpa satupun turis, namun dengan pemandangan lebih bagus dari Bukit Cinta. Kami menamakannya Bukit Kasih, karena begitu turun sehabis memotret, kami menemukan sepasang anak muda sedang berkasih-kasihan!

Standard
Bibir kawah Gunung Bromo Malang Jawa Timur
Indonesia, Journey

Mencari Lautan Pasir Atas

Padang savana dipagari Gunung Kursi dan Gunung Jantur

Lautan pasir tak hanya ada di kaki Gunung Bromo. Ada satu lagi tersembunyi di atas sana, tapi hanya bisa dicapai dengan mengelilingi puncak kawah gunung ini.

Sejak kemarin siang, bahkan sebelum menginjakkan kaki di Desa Ngadas ini, hujan deras, angin dan kabut sudah menyambut kami. Pohon-pohon berubah menjadi bayang-bayang hitam, semuanya diselimuti kabut putih tebal. Begitu juga persawahan terasering di kiri-kanan jalan desa. “Padahal kalau cuaca cerah, pemandangan di sini indah sekali,” kata Purnawan, dosen sekaligus peneliti masyarakat Tengger, yang menemani kami ke Ngadas.

Tujuan kami adalah ke Segara Wedi Anakan alias Lautan Pasir Atas, yang kalau melihat Google Earth letaknya di samping selatan kawah Gunung Bromo. Selama ini, umumnya orang hanya tahu lautan pasir di bawah Gunung Bromo, yang biasa dilewati saat hendak melihat sunrise di Penanjakan atau naik tangga ke kawah Bromo.

Desa Ngadas (2.140 mdpl), salah satu desa tertinggi di Jawa dan masuk dalam Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS), menjadi basecamp kami. Lokasinya tepat berada di tengah-tengah antara Gunung Bromo dan Semeru, dan biasa dilewati para pendaki yang hendak ke Semeru melalui Ranupani, desa di sebelah timur Ngadas ini. Saya, teman seperjalanan Arif, dan Purnawan, tinggal di rumah Pak Mulyadi. Beliau mantan kepala desa Ngadas yang kini bertani dan sesekali mengantar wisatawan dengan jipnya.

Suasana pagi yang dingin dan berkabut di Desa Ngadas, Malang

Penduduk lokal memaksakan diri beraktivitas di antara dingin dan kabut pekat.

Pagi ini, kami membatalkan rencana untuk melihat sunrise dari bibir kawah Bromo, akibat hujan dan kabut tebal yang tak kunjung hilang. Rencana untuk mencari Segara Wedi Anakan pun menjadi tidak jelas. Cuaca seperti ini ternyata sudah berlangsung sejak 10 hari yang lalu. Sebagian warga desa tampak sudah beraktivitas, namun sebagian lagi berselimut sarung dan menggigil kedinginan. Sesuatu yang menurut saya lucu, mengingat mereka sudah puluhan tahun tinggal di tanah leluhur mereka ini.

Penduduk lokal Desa Ngadas, Malang

Penduduk lokal saja kedinginan, apalagi saya yang baru sehari di Desa Ngadas.

Solusi datang ketika kami bertamu ke rumah Pak Ngatrulin, ketua adat Desa Ngadas. “Kenapa tidak minta tolong ke Pak Untung, pawang hujan di sini?” sarannya ketika tahu kami bingung dengan cuaca yang tidak bersahabat ini. Pak Mulyadi pun mengantar kami ke rumah sang pawang.

Pak Untung saat itu sedang tidur. Dia bersungut-sungut ketika dibangunkan istrinya. “Kalau perlunya sekarang, kenapa tidak bilang dari kemarin?”

Melihat posturnya yang tinggi, muka dan rambutnya yang seram, saya langsung mengkeret. Namun tampaknya dia tidak marah. Sambil membawa rokoknya, dia berjongkok di halaman depan rumah, lalu mulutnya komat-kamit membaca mantra. Matanya menerawang jauh ke langit. Sekitar lima menit, ritualnya pun selesai.

Pak Untung pawang Bantengan Desa Ngadas, Malang

Pak Untung sedang memberi makan hewan-hewan peliharaannya.

Dia tak keberatan ketika Pak Mulyadi memintanya mengeluarkan ‘hewan-hewan peliharaannya’, yang tak lain berupa topeng harimau, macan putih, sapi, kera putih, kerbau, dan kuda lumping beserta cambuknya. Pak Untung adalah pawang bantengan, salah satu kesenian tradisional masyarakat Tengger. Menurutnya, setiap topeng ada penunggunya dan harus secara teratur diberi makan dengan dupa dan berbagai sesajian, agar orang yang memakainya tidak kesurupan.

Savana, Kabut, dan Edelweis

Cuaca masih berkabut ketika kami berlima berangkat menuju Gunung Bromo. Sebagai pemandu, selain Pak Mulyadi kami juga menyewa Pak Puliono, penduduk asli Tengger yang sehari-hari berkeliling mencari jamur dan tanaman obat ke gunung-gunung di wilayah Tengger. Hanya dia yang tahu rute ke Segara Wedi Anakan.

Standard