Traveling ke Jepang tak lengkap tanpa mencoba Shinkansen si kereta peluru.
Saya bergegas menaiki undak-undakan stasiun sentral Tokyo menuju peron di lantai atas, begitu terdengar pengumuman bahwa kereta Nozomi 221 sudah tersedia di jalur 15. Pagi ini saya bersama Umi dan Lia bermaksud ke Kyoto, dan transportasi yang kami pilih adalah naik shinkansen alias kereta peluru.
Kunjungan kami ke Tokyo untuk sebuah keperluan keluarga ini agak mendadak, begitu pula dengan keinginan untuk pergi ke Kyoto memanfaatkan dua hari yang tersisa. Makanya kami tak sempat membeli JR Pass, tiket kereta api terusan yang lebih murah, yang diperuntukkan bagi wisatawan yang ingin berkeliling Jepang dengan kereta api. Tapi saat membeli tiket kereta ini kemarin di konter Japan Railways (JR) di Stasiun Ikebukuro, ternyata memang kereta Nozomi –tipe shinkansen yang tercepat– tidak tercakup dalam JR Pass. Jadi kami memang mesti membeli tiket lagi. JR Pass hanya berlaku untuk shinkansen Hikari dan Kodama yang lebih lambat.
Saya setengah berlari mencari gerbong keempat sesuai yang tertera di tiket. Ternyata letaknya agak jauh di depan. Maklum, kereta Nozomi tipe N700 ini sekali jalan membawa 16 gerbong dan panjang rangkaiannya bisa mencapai 455 meter. Begitu ketemu gerbongnya, saya pun segera meloncat masuk, tak memperdulikan seorang bapak berjas rapi yang sedang berdiri di peron di depan gerbong itu.
Tapi, begitu masuk, saya disambut seorang ibu petugas cleaning service yang mengibas-ngibaskan tangannya. “No, no, no!” katanya menyuruh saya keluar. Saya bertiga pun keluar lagi, dan begitu melihat lantai peron, ternyata si bapak berjas tadi –yang tanpa ekspresi tapi mungkin menertawakan keudikan saya– berdiri di atas jalur antri. Jalur itu ditandai dengan anak-anak panah yang berkelak-kelok ke belakang. Ooh, jadi saya mesti antri toh untuk masuk keretanya.
Antrian makin banyak, dan kereta pun selesai dibersihkan. Petugas kereta yang berjas dan bertopi hitam pun mempersilakan para penumpang, dan kami masuk kereta dengan tertib. Gerbong keretanya cukup panjang, sekitar 25 meter, dengan 17 baris kursi yang masing-masing berisi 5 kursi dengan konfigurasi 3+2. Semua kursinya reclining berwarna biru indigo dengan ruang kaki yang lega seperti di kereta eksekutif di Indonesia. Masing-masing deretan kursi mempunyai fasilitas colokan listrik serta kantong majalah dan meja lipat di kursi depannya. Tapi ternyata tidak ada layar televisi dan in-flight entertainment seperti di pesawat, dan juga tidak ada sandaran kaki. Kompartemen untuk menaruh tas ada di atas kepala, namun tidak mempunyai penutup.
Begitu melihat tempat duduk kami bertiga yang nomor 11 A-B-C, saya agak kecewa, karena letak kursinya ada di sisi kiri. Padahal nanti kereta ini akan melewati Gunung Fuji (3,776 mdpl), yang ada di sisi kanan kereta kalau dari Tokyo. Kursi D-E lah yang ada di sisi kanan. Kemarin sewaktu membeli tiket, mungkin karena melihat kami bertiga, petugasnya membelikan tiket yang tiga kursi berderet. Saya lupa menanyakan harus duduk di kursi mana kalau ingin melihat Gunung Fuji dari kereta.
Okelah, saya terima nasib saja. Terlebih karena gerbong ini memang penuh oleh penumpang, tidak ada kursi D-E yang kosong. Lagipula cuaca pagi ini mendung, jadi mudah-mudahan nanti memang gunungnya tidak kelihatan.
Kereta mulai bergerak dengan sangat halus, seperti meluncur di permukaan es, nyaris tanpa suara roda kereta beradu dengan rel. Padahal kereta ini masih menggunakan rel, hanya saja memang relnya tersendiri, dengan lebar antar-rel 1435 mm. Sementara kalau rel kereta biasa lebarnya 1067 mm.
Pagar dan bangunan-bangunan yang kebanyakan berbentuk kubus mulai tampak berlari dari balik jendela. Tapi kereta belum memakai kecepatan maksimumnya, karena kemudian kereta melambat dan berhenti di stasiun Shinagawa. Di dalam kota Tokyo, Nozomi memang hanya berhenti di dua stasiun. Nanti, menuju stasiun akhir Shin-Osaka (shin menunjukkan bahwa stasiunnya agak di luar kota) kereta ini hanya akan berhenti di stasiun Yokohama, Nagoya, dan Kyoto.
Kereta kembali melaju, dan satu atau dua menit kemudian, tampaknya kereta sudah sampai di kecepatan optimalnya, 270 km per jam (kecepatan maksimum 300 km/jam). Pagar pembatas rel, tiang-tiang, dan bangunan-bangunan rumah dan kantor semakin cepat berlari hingga rasanya tak sempat menikmati suasana kehidupan di pinggir rel, karena apa yang saya lihat segera menghilang ditelan laju kereta.
Shinkansen ini memang simbol keunggulan teknologi perkeretaapian Jepang, yang sangat efisien dalam mempersingkat waktu bepergian. Dulu, selama berabad-abad, Jalan Raya Tokaido sepanjang 513,6 km merupakan satu-satunya rute yang menghubungkan Tokyo dengan Kyoto. Jarak ini harus ditempuh selama 12-13 hari perjalanan. Dengan beroperasinya kereta api Jalur Tokaido pada Juli 1889, jalan raya ini ditinggalkan karena sekarang waktu tempuh cukup 20 jam saja. Tahun 1906, saat kereta super express mulai dikenalkan, lama perjalanan pun makin singkat, menjadi 13 jam 40 menit.
Jalur Tokaido diubah menjadi jalur kereta listrik pada tahun 1956. Di tahun ini pula muncul proposal untuk mempunyai jalur kereta yang lebih cepat antara Tokyo dan Osaka (515,4 km). Osaka ini sekitar 43 km barat daya Kyoto. Proposal itu bukan untuk memperbaiki Jalur Tokaido, namun membuat shinkansen –yang arti harfiahnya ‘jalur kereta api baru’– yang dapat mengakomodasi kecepatan kereta hingga 300 km/jam. Tujuannya, agar para pebisnis bisa pergi-pulang antara kedua kota ini tanpa perlu menginap. Proposal itu disetujui tahun 1958 dengan syarat harus bisa selesai dalam enam tahun agar bisa dipakai saat pembukaan Olimpiade Musim Panas Tokyo tahun 1964. Deadline itu terpenuhi, dan tepat pukul 6.00 pagi 1 Agustus 1964, jalur baru yang menelan biaya 380 miliar yen itu pun diresmikan. Sekarang, dengan memakai Nozomi, waktu tempuh Tokyo-Kyoto hanya 2 jam 18 menit, dan Tokyo-Shin-Osaka 2 jam 26 menit.