“Ini bukan Wat Phra Sri Sanphet, tapi Wat Lokaya Sutharam,” jelas Rambo –seperti nama jagoan di film saja– seorang pedagang suvenir di mana saya menitipkan sepeda. Tak apalah, terlebih Sang Buddha yang tengah berbaring itu memang sungguh unik. Kedua kakinya yang lurus dan saling menindih itu mempunyai jari-jari yang kesepuluhnya berukuran sama. Di kepala Sang Buddha, burung-burung asyik bermain, dan sebagai bantal tempat berbaring adalah sebuah bunga lotus besar. Namun, yang paling mengesankan saya, meski terletak di area terbuka, tanpa penjaga atau pagar, serta ramai oleh pengunjung, tak ada satupun coretan iseng mengotori kompleks reruntuhan ini. Sungguh suatu sikap yang patut dipuji.
Buddha Terlilit Akar Pohon
Waktu sudah pukul 5 lebih, dan saya mulai sedikit panik. Masih ada satu kuil yang harus saya kunjungi, dan ini adalah yang paling saya cari: Wat Phra Mahathat, yang ada patung kepala Buddha terlilit akar pohon banyan. Menurut Rambo, saya mesti lurus ke timur, lalu ke selatan, melewati Royal Palace, memutarinya, lalu ke timur lagi. Wah, bakal lama ini, pikir saya.
Benar saja. Sudah mengitari Royal Palace, tapi tidak ketemu juga kuil yang Rambo maksud. Saya bertanya ke seorang lelaki tua yang lewat. “Oh, ke sana!” Ia hanya menunjuk arah timur laut dengan gerakan kepalanya. Saya pun mengayuh pedal lagi, lebih kuat.
Sampai di sebuah perempatan besar, saya berbelok ke kiri melewati sebuah kompleks kuil. Saya bingung. Seorang lelaki yang hendak menuju sebuah kafe, saya tanyai. Untungnya dia bisa berbahasa Inggris. “Wat Phra Mahathat? Sepertinya kompleks yang di sebelah selatan itu,” jawabnya seperti tidak yakin. “Tapi ini sudah jam 5, mungkin sudah tutup!”
Wah, berita buruk. Tanpa membuang waktu, saya menuju kuil yang dia tunjuk, untung-untungan saja. Ternyata kuil yang tadi saya lewati adalah Wat Ratchaburana. Di seberang jalan di selatannya, barulah Wat Phra Mahathat. Kata penjaganya, kuil belum ditutup. Thank God! Memang saya lihat dari balik pagar, masih ada beberapa turis di dalam sana. Kalau ada turis, mana bisa ditutup?

Alhamdulillah, ketemu juga apa yang saya cari: Buddha terlilit akar pohon banyan di Wat Phra Mahathat.
Sepeda saya parkir, saya bergegas masuk dan menghampiri seorang wanita penunggu kios suvenir. “Di mana yang ini?” saya tunjukkan gambar Buddha terlilit akar pohon. “Di sana,” tangannya menunjuk sebuah pohon. Kamera segera saya siapkan. Tanpa menengok kiri-kanan yang sebenarnya banyak prang dan reruntuhan cantik, saya langsung menuju tempat yang ditunjuk. Ternyata, tidak seperti dugaan saya saat melihat gambarnya. Kepala Buddha yang terlilit akar pohon banyan (mirip pohon beringin) itu terletak cukup rendah dari permukaan tanah, sekitar 30 sentimeter saja. Sekeliling kepala itu dipagari rantai besi.
Rasanya tak puas-puas saya memotret Buddha ini dari berbagai sisi. Termasuk ketika matahari senja muncul lagi dari balik awan, dan sebagian wajah Buddha yang damai dan seperti tersenyum itu tersapu sinar matahari sore.

Wat Phra Sri Sanphet yang tak sempat saya kunjungi, atau kelewat tapi saya nggak ngeh.
Tinggal 20 menit lagi ke pukul 6, dan saya tak ingin telat mengembalikan sepeda pink ini. Saya lurus saja ke timur melalui Pa Thon Road, berbelok ke selatan, dan akhrnya sampai ke jembatan Sungai Pa Sak yang tinggi sekali. Meski harus menuntun sepeda, dan dilihat orang-orang yang naik mobil, saya cuek saja.
Saya sampai ke toko penyewaan sepeda lagi pukul 5.55. Kini saatnya beristirahat sebentar, menunggu kereta ke Bangkok yang baru akan datang pukul 7.05. Ternyata, yang saya tahu kemudian, setelah lewat pukul 6 petang, toko penyewaan sepeda itu belum juga tutup! Berarti, sebenarnya saya bisa saja menyewa sepeda itu sampai malam. Tapi tak apalah, yang penting misi bersepeda mengelilingi Ayutthaya sudah tercapai, meski baru sebagian….[T]
BOKS 1:
Banyak Cara ke Ayutthaya
Banyak cara dari Bangkok menuju Ayutthaya: naik kereta, naik bus, atau ikut river cruise tour yang diadakan beberapa perusahaan kapal wisata yang melayari Sungai Chao Phraya. Tidak ada angkutan umum feri murah yang menuju Ayutthaya. Ikut cruise tour cukup mahal, bisa sampai 1.800 baht atau sekitar Rp 540.000. Itu pun paling berangkat pagi dari Bangkok dan pulang sekitar jam 2 siang dari Ayutthaya. Dan lagi, biasanya kalau dari Bangkok naik cruise, pulangnya naik bus wisata. Sedangkan kalau dari Bangkok naik bus, baru pulangnya naik cruise untuk mendapat sunset dari atas kapal.

Keliling Wat Chai Wattanaram dengan naik gajah, atraksi yang sepertinya belum ada saat saya berkunjung.
Naik bus umum sebenarnya cukup mudah, yakni dari stasiun bus Mochit, tak jauh dari stasiun skytrain Mochit. Tapi ada satu kelebihan yang ditawarkan kereta: ongkosnya yang sangat murah. Sekali jalan hanya 20 baht alias Rp 6.000! Naiknya dari stasiun pusat Hualamphong, dan ada beberapa jadwal setiap hari (ada di sini: http://www.seat61.com/Thailand.htm#Bangkok to Chiang Mai). Kalau berangkat pukul 8.20, sampai Ayutthaya pukul 9.40 pagi, atau sekitar 1 jam 20 menit. (Pulangnya kemudian, pukul 7 petang, hanya 15 baht, namun waktu tempuhnya lebih lama, 1 jam 50 menit).
Dari depan stasiun Ayutthaya, ada banyak penyewaan sepeda dan sepeda motor. Penyewaan ini juga memberi selembar peta gratis berisi suggested route kalau mau mengelilingi Ayutthaya.
Kalau ingin berkeliling Ayutthaya dan punya waktu terbatas, sepeda bukanlah pilihan terbaik, meski paling murah, paling sehat, dan ramah lingkungan. Lebih baik bersepeda motor, atau menyewa tuk-tuk 200 baht per jam. Bisa juga bekeliling dengan perahu dengan biaya antara 500-600 baht, yang bisa diisi 8 orang.