Dengan kesederhanaannya, sebuah sanggar terus berkarya untuk melestarikan tari tradisional Jawa.
Ini yang ketiga kalinya dalam tiga hari terakhir saya mampir ke sini. Seperti biasa, pintu gerbang utama di sebelah selatan selalu terkunci – tak ada orang yang bisa masuk lewat pintu ini. Pintu gerbang sebelah barat selalu terbuka, dengan penjagaan yang longgar, sehingga orang-orang bisa masuk melalui pintu ini. Pintu gerbang sebelah timur hanya sedikit terbuka, namun orang juga leluasa masuk dari sini. Dan saya masuk dari pintu ini.
Begitu masuk, sebuah halaman yang luas di depan sebuah pendopo besar yang menghadap ke selatan segera menyambut. Di tengah halaman ini ada sebuah kolam berbentuk daun semanggi, dengan ikan-ikan besar di dalamnya yang beberapa kali menggelepakkan ekornya. Di atas kolam ada sebuah air mancur yang keluar dari mulut seekor angsa emas yang dipegang lehernya oleh seorang bocah lelaki. Tak jauh dari sini, dekat pintu gerbang utama, ada garasi berisi mobil-mobil antik.
Di sebelah timur dan barat pendopo ada bangsal yang berisi ruang-ruang kerja, sedangkan di belakang pendopo merupakan teras sebuah rumah yang memajang berbagai lukisan besar, empat buah patung bergaya kolonial, dan dua patung singa. Sebuah plakat wana merah yang bertarikh 1866 dengan lambang MN dan sebuah mahkota menunjukkan dengan jelas kapan rumah ini dibangun. Di belakang rumah ini tampaknya masih ada rumah-rumah lain, namun tembok yang mengelilinginya cukup tinggi dan tertutup, sehingga menyurutkan saya untuk memasukinya.
Ini adalah Pura Mangkunegaran, salah satu dari dua istana yang ada di Solo. Istana lainnya adalah Kraton Kasunanan Surakarta. Semula saya mengira suasana Pura Mangkunegaran ini seperti Kraton Yogyakarta, di mana para tamu atau turis yang datang akan dipandu oleh para guide untuk melihat-lihat isi kraton dan juga melihat aktivitas para abdi dalem di istana. Namun di sini tidak ada yang seperti itu. Tak ada loket karcis, tak ada guide. Sepi.
Sebuah ruangan di bangsal sebelah barat terbuka pintunya. Di dekat pintu itu ada seorang ibu yang berjualan sate. Ruangan itu ternyata tempat penyewaan kostum wayang, dan yang menjaga Bu Juliyah.
“Yang menyewa kostum ini anak-anak yang latihan menari di Sanggar Suryo Sumirat,” tuturnya. Secara teratur sanggar tari itu mengadakan pentas, dan anak-anak menyewa kostum di sini, karena ongkos sewanya yang murah, hanya Rp 25.000. Kalau membuat kostum sendiri biayanya bisa mencapai Rp 200.000.
“Sebentar lagi anak-anak yang latihan menari juga datang. Setiap hari ada latihan, kok. Mulainya jam 3 sore.”
Sanggar Suryo Sumirat merupakan satu-satunya sanggar tari yang ada di lingkungan kraton, dan mengadakan kursus tari baik tari klasik Jawa Solo maupun tari kreasi baru. Didirikan tahun 1982, sanggar ini tampaknya tetap low profile meski telah berulangkali mengadakan pentas berkualitas internasional dan sering ikut dalam misi mengenalkan Indonesia ke luar negeri.
“Biasanya latihan diadakan di Prangwedanan, pendopo samping yang ada di luar gerbang timur. Namun karena saat ini sedang direnovasi, latihan pindah ke pendopo utama,” tambah Bu Juliyah.
Anak-anak mulai berdatangan bersama orangtua mereka ketika saya masih asyik menikmati sate kere yang dijual Bu Marni di depan pintu penyewaan kostum ini. Betapa kontradiktif, pikir saya dalam hati. Di lingkungan kraton, yang dijual adalah sate kere (sate orang miskin). Satenya terdiri dari sate usus sapi, jeroan sapi, ginjal sapi, gembus, dan sate tempe, yang dibakar lalu disajikan bersama lontong dan bumbu kacang. Untuk semuanya itu, saya hanya membayar Rp 6.000. Yang unik, ternyata Bu Marni satu-satunya pedagang asongan yang diizinkan berjualan di sekitar pendopo. Dan yang lebih mengejutkan, dia telah berjualan sate ini selama 40 tahun!
Latihan menari ternyata dimulai tepat waktu. Di sisi timur pendopo, yang berlatih adalah anak-anak perempuan berusia 7-10 tahun, dan dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing sekitar 30 anak. Dua guru yang bertugas sore itu, Erni dan partner kerjanya Wanti, melatih dulu anak-anak yang lebih kecil. Gerakan tarinya sederhana, dan Erni serta Wanti masih banyak memberikan instruksi dan membetulkan gerakan tari. Para orangtua yang mengantar tampak duduk lesehan di lantai pendopo, tak jauh dari anak-anak yang latihan. Setiap kali selesai menjelaskan satu gerakan, seorang lelaki kemudian menyalakan sebuah mini compo yang ditaruh di lantai, dan sekarang dimulai praktek dengan iringan musik gamelan dari kaset.