Treking yang seharusnya mudah menjadi sulit, bahkan sampai tersesat beberapa jam. Ternyata memang harus diuji dulu sebelum bisa menghadap Sang Ratu.
Waktu baru menunjukkan pukul 3.45 dini hari saat kami bertiga, saya, Boy, dan Raiyani, menyeberangi jalan aspal memasuki jalan setapak yang menuju titik awal pendakian. Udara terasa sejuk, dan memandang ke langit, sepertinya hari akan cerah. Mudah-mudahan nanti tidak hujan, doa saya, meski saya tak lupa membawa jaket hujan untuk jaga-jaga.
Kami bertiga hendak treking menuju Kawah Ratu, di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kawah Ratu (1.437 mdpl) berada di ‘pinggang’ Gunung Salak, di pinggir jalur pendakian menuju puncak. Jadi kami tidak perlu naik sampai Puncak Salak I (2.210 mdpl) apalagi Puncak Salak II (2.180) yang lebih jauh. Gunung Salak memang punya dua puncak.
Ada beberapa jalur treking menuju Kawah Ratu. Pertama, melalui jalur Cidahu-Cangkuang, Sukabumi. Kedua, dari Pasir Reungit (1.173 mdpl) dekat kompleks Gunung Salak Endah, seperti yang kami lakukan sekarang. Pilihan ketiga adalah dari Gunung Bunder, yang sebenarnya tak jauh dari sini. Tadinya kami hendak berangkat lebih pagi, karena Rai ingin mengejar sunrise. Namun karena kata Boy kawah itu berada di lembah dan matahari terhalang lereng gunung sehingga kami tak akan mendapatkan sunrise, waktu pendakian pun sedikit diundur.
Kami segera sampai ke pintu gerbang menuju jalur pendakian, yang kosong tanpa penjaga. Ya iyalah, siapa yang mau jaga di sepagi buta ini? Hanya ada papan peta sederhana yang menunjukkan jalur pendakian ke kawah dan puncak Gunung Salak. Kawah Ratu ada di titik terdekat, lalu Puncak Salak I, dan terakhir Puncak Salak II. Tapi biasanya pendakian tidak sesimpel itu, pikir saya.
Kami lalu menemukan patok di pinggir jalur treking bertuliskan TN HM 86. Sepertinya, TN menunjukkan ‘Taman Nasional’, dan HM menunjukkan ‘Hektometer’ (100 meter). Menurut Boy, kami akan mengikuti jalur treking yang telah ditandai dengan patok-patok ini.
Sebuah sungai kecil dengan air yang gemericik kami seberangi. Boy bilang, jalur pendakian kami akan banyak menemui sungai-sungai kecil dan kadang aliran airnya melimpah ke jalur treking, jadi dia menyarankan saya memakai sandal treking yang all-weather, bukan sepatu gunung. Tapi saya tetap memakai sepatu gunung karena dia baru memberitahu saya sekarang, hahaha!
Jalan mulai menanjak, dan saya yang paling belakang mulai tertinggal. Tapi tidak apa, karena saya membawa senter, sehingga Boy dan Rai mesti menghentikan langkahnya dulu supaya mereka bisa melihat jalur treking yang kami lalui. Boy membawa senter kecil, namun sepertinya lupa mengganti baterainya, sehingga cahayanya tak cukup menerangi jalur treking yang masih gelap.
Sampai di sebuah pertigaan, Rai yang sudah agak jauh melangkah, dipanggil Boy. “Lewat sini, bukan ke situ!”
Boy meminta saya menyorot sebuah penunjuk jalan yang menempel di pohon yang tertutup daun-daun, dan terlihat tulisan Kawah Ratu 1,3 Km, Cidahu 6,3 Km, Puncak I 8,8 Km. Saya merasa lega, karena trekingnya ternyata cuma 1,3 km. Dengan berjalan normal, paling 45 menit juga sampai.
Tapi… mengapa Boy tadi di penginapan bilang trekingnya sekitar 2-3 jam? Apa medannya berat? Saya tak banyak berpikir, karena harus mengejar Rai dan Boy yang sudah jauh lagi di depan.
Meski gelap gulita, Rai sepertinya punya ‘mata harimau’, sehingga dia bisa menyusuri jalur treking tanpa kesulitan. Terlebih karena dia tidak membawa apa-apa. Tas kamera, air, dan bekal makanan semua dibawa Boy dalam dua backpack. Sementara saya cukup repot membawa tas kamera dan tas tripod, sambil membawa senter untuk menyoroti jalur treking.
Patok 85 kami lewati, dan jalan tanah yang becek serta sempit dan menanjak mulai kami lewati. Di depan berikutnya suara gemericik air menemani sepanjang kami berjalan. Kadang airnya menggenangi jalur treking, dan saya mesti berjingkat atau melompat agar sepatu tidak basah.