Kawah Ratu Gunung Salak
Indonesia, Journey

Jalan Panjang ke Kawah Ratu

Suara azan subuh terdengar di kejauhan. Jadi kami sudah berjalan sekitar 30 menit. Nomor patok yang kami lalui pun makin menurun, 84, 82, 81, 79…. Nomor yang kami temui tidak selalu urut, karena bisa saja kami tidak melihatnya karena gelap. Saya tak tahu sampai patok nomor berapa kami akan berjalan. Apakah patok nomor 0? Apakah patok ini dinomori dari Puncak I, ataukah dari Kawah Ratu? Kalau dimulai dari Kawah Ratu, berarti jarak treknya sekitar 8,6 kilometer dong, bukan 1,3 km seperti tertulis di penunjuk jalan tadi?

“Kita tidak akan sampai patok 0, tapi mungkin patok 30-an saja,” kata Boy. Oke, berarti sekitar 5 sampai 5,5 km, bukan 1,3 km? Ah, sudahlah, saya tidak mau terlalu memikirkan jaraknya, yang penting jalan saja terus mengikuti jalur treking ini.

Kami melewati sebuah lahan yang agak lega dan datar, yang ternyata merupakan sebuah camping ground. Ada dua tempat lapang yang cukup untuk sekitar 4-5 tenda, tapi tidak ada yang kemping di sini. Di sebuah pohon kami lihat larangan untuk kemping di sini. Mungkin karena Kawah Ratu selalu aktif mengeluarkan gas, kemping di sini dianggap tidak aman karena jaraknya cukup dekat.

Kami terus menyusuri jalur treking yang bersisian dengan sungai kecil, sehingga suara gemericik airnya terus menemani sepanjang kami jalan. Kadang-kadang jalurnya naik sekitar 5-10 derajat, dengan tanjakan setinggi paha sehingga saya mesti berpegangan pada akar pohon atau batu-batu agar bisa melewatinya. Lalu diikuti dengan jalur datar, yang cukup membantu untuk menenangkan nafas yang tersengal-sengal. Mungkin faktor usia juga yang membuat saya tertinggal di belakang. Untungnya, karena membawa senter –sekarang senter Boy sudah mati– sehingga mereka tidak bisa bergerak terlalu jauh dari saya.

Antara ‘Potekan’ dan Korek

Hari makin lama makin terang, meski masih remang-remang. Kami menemukan lagi camping ground di sisi kanan jalur trek, namun tidak ada yang kemping. Raiyani dan Boy tetap berjalan dengan cepat, sehingga saya makin sering tertinggal di belakang karena mereka tidak butuh penerangan lagi. Hanya karena saya sering berteriak ‘Hoi, tunggu ya!’ mereka berhenti sejenak untuk menunggu saya yang datang dengan nafas terengah-engah.

Kami menyeberangi sebuah sungai kecil yang diikuti dengan tanjakan dan tiba di sebuah tanah datar yang mungkin hanya cukup untuk satu tenda kemping. Sepertinya ini memang camping ground, karena ada batang pohon mati melintang yang sepertinya untuk tempat duduk-duduk. Waktu sudah pukul 6 pagi dan kami dapat melihat sekeliling dengan jelas, hutan yang rapat dengan gemericik air dari sungai kecil di sisi kanan kami. Tidak kami temukan patok penunjuk jarak di sini, dan Boy menerabas semak-semak untuk sampai di pinggir sungai kecil itu, dan menyeberang, diikuti Rai. Saya yang paling belakang, susah payah menyeberangi sungai berbatu-batu itu karena banyaknya ranting pohon dan juga tumpuan di sisi seberang yang agak tinggi.

Tapi Boy kemudian balik lagi ke saya. “Sepertinya bukan ini jalurnya.”

Makin naik, ternyata kami makin tersesat.

Jadi kami berbalik lagi menyeberangi sungai tadi, dan Boy mencari-cari lagi jalur treking yang benar. Saya dan Rai beristirahat di tempat kemping ini sambil menunggu. Sepertinya Boy tidak menemukan, karena dia kembali ke kami.

“Apa jalurnya sudah berubah ya? Saya cari-cari patok, tidak ada juga,” katanya. Menurut Boy, dia terakhir treking melalui jalur ini tahun 2009, dan tidak menemui tempat seperti ini.

Jadi, dengan kata lain, sepertinya kami mulai… tersesat?

Dalam pikiran saya, seharusnya kami tidak tersesat, karena Kawah Ratu ini destinasi treking yang populer. Pastinya jalur treking telah dibuat dengan jelas. Hanya saja, karena tadi kami berjalan dalam gelap, bisa saja kami tak melihat semua patok yang ada. Tadi saya sempat melihat patok nomor 67, namun itu sudah cukup jauh di belakang.

Boy menerabas jalur di depan yang menaik, yang nampaknya seperti jalur yang pernah dilalui orang. Namun setelah kami ikuti beberapa puluh langkah, jalur yang kami tempuh makin rapat oleh gerumbul tanaman pakis dan pohon-pohon tinggi. “Bukan yang ini sepertinya. Kita balik lagi ke lokasi kemping,” saran Boy.

Boy mencari-cari jalur lagi di sisi kiri kami, kemudian dia datang. “Sepertinya jalur yang ini!”

Saya dan Rai pun mengikutinya. Kali ini, menghindari tersesat lebih jauh lagi, setiap 10 meter saya mulai memotek (mematahkan) batang tanaman pakis yang saya lalui, dan mengarahkan patahan dahan itu sesuai arah yang saya tuju. Daun-daun di batang tanaman pakis itu berpola mengerucut, jadi cocok sekali sebagai alat darurat untuk menunjukkan arah.

Standard

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *