Meski cuma 10 jam di Pulau Bohol, Filipina, saya beruntung bisa menikmati Chocolate Hills dan jatuh cinta dengan Tarsius.
Kapal cepat MV Starcraft merah-oranye akhirnya mulai bergerak meninggalkan Pier 1 Pelabuhan Cebu City, setelah telat 15 menit dari jadwal seharusnya, pukul 7.00 pagi. Terus-terang hati saya masih galau melihat langit pagi yang tertutup mendung kelabu. Padahal semalam hujan deras. Biasanya kalau malam hujan, paginya cerah. Tapi ini sayangnya tidak. Kalau mendung terus, harapan bisa memotret Chocolate Hills dengan latar belakang langit biru pun menipis. Dan sayangnya, mendung ini masih menggelayut saat kami tiba satu jam kemudian di pelabuhan kota Tubigon, di sisi barat Pulau Bohol.
Kami berempat: saya, istri saya Helen, putri kami Mayumi, dan ayah mertua saya Honorato, berencana mengunjungi beberapa destinasi wisata di Pulau Bohol. Di antaranya bukit-bukit mengerucut mirip cokelat raksasa yang dinamai Chocolate Hills di kota Carmen. Kami juga ingin melihat tarsier atau tarsius, yang disebut-sebut primata terkecil di dunia, di hutan konservasinya di dekat kota Corella. Pulau Bohol sendiri bertetangga dengan Pulau Cebu, tempat asal istri. Dan saya sekeluarga pulang ke Cebu dalam rangka liburan akhir tahun. Jadi sayang kalau sudah sampai Cebu tapi tidak mampir ke Bohol, terlebih Chocolate Hills merupakan destinasi wisata kebanggaan Filipina, selain Pulau Boracay.
Kalau memakai rute yang ‘biasa’, orang umumnya akan mengunjungi Chocolate Hills melalui kota Tagbilaran, ibukota provinsi Bohol, yang mempunyai bandar udara. Namun karena dari Cebu lebih dekat ke Tubigon, rute inilah yang kami pakai. Selain lebih murah dan hemat waktu, kami juga bisa mengunjungi Chocolate Hills dua kali, yakni di Sagbayan Peak dan di kota Carmen. Kalau dari Tagbilaran, umumnya tur ke bukit-bukit cokelat itu hanya sampai Carmen.
Mr. Tony sudah menunggu kami dengan mobil sedannya di pelabuhan Tubigon. Saat mengontak Starcraft untuk booking tiket kapal, staf customer service-nya menanyakan berapa orang yang akan tur. Ketika kami jawab berempat, dia merekomendasikan kami untuk memakai jasa tur Mr. Tony di Tubigon karena lebih murah, yakni 2.500 peso (sekitar Rp 625.000) untuk tur satu hari. Harga untuk empat orang ini sudah termasuk biaya supir dan bensin, namun tidak mencakup tiket masuk ke objek wisata serta makan siang. Kalau dihitung-hitung, biaya ini lebih murah dan lebih nyaman dibanding kalau ikut tur dari Tagbilaran yang sekitar 1.000 peso per orang, dan bercampur dengan turis-turis lain.
Jalan aspal yang mulus dan lebih mirip jalan beton menyambut kami begitu meninggalkan Tubigon. Di kanan-kiri jalan asri dengan banyak pepohonan, mulai dari pohon kelapa, mangga, mahoni, yang diselingi dengan rumah-rumah beratap seng. Jalan dan rumah-rumah relatif sepi. Hanya sesekali saja kami berpapasan atau menyalip tricycle, becak motor khas Filipina, yang mirip bentor di Medan. Angkutan umum bus juga hanya sedikit kami temui, umumnya bus non-AC dengan jendela sampingnya yang tanpa kaca, jadi penumpangnya benar-benar merasakan ‘AC window’.
Sagbayan Peak
Kami membelok ke kanan begitu sampai di pertigaan kota kecil Clarin, dan tak lama kemudian bukit-bukit kecil berbentuk kerucut menyembul di kanan kami, begitu sampai di kota kecil Sagbayan. Wow, itu dia Chocolate Hills!