Namun pegalnya lutut dan nafas yang ngos-ngosan terbayar oleh pemandangan spektakuler yang bisa langsung kami nikmati saat menapaki anak tangga. Bukit-bukit mengerucut bertebaran rapat di sisi kanan, dan begitu sampai di puncak, gundukan bukit yang paling besar langsung menyambut di depan mata. Tak bisa dihitung berapa banyak bukit-bukit cokelat di sini, saking banyaknya! Bukit-bukit itu bersusun ke belakang sana hingga jauh sekali.

Cokelat segini banyak, bagaimana cara menghabiskannya?
Para turis berebut tempat untuk bisa berfoto-foto di bukit pandang ini, tak peduli cuaca yang mendung kini berubah menjadi gerimis kecil. Maklum, selain bisa berfoto-foto sendiri, di sini juga ada jasa pemotretan langsung jadi, lengkap dengan properti pemotretannya. Pengunjung cukup membayar 200 peso (1 Peso = Rp 275). Yang lucu, di sini disediakan juga sapu lidi dengan gagang panjangnya. Pengunjung bisa menaiki sapu ini lalu meloncat saat difoto, jadi bergaya seperti nenek sihir yang sedang terbang di atas Chocolate Hills. Begitu gerimis berubah menjadi hujan, kami pun melanjutkan perjalanan menuju kota Loboc, yang terkenal akan wisata sungainya.
River Cruise ala Loboc
Hujan sudah berhenti dan cuaca kembali cerah begitu kami sampai di kota Loboc. Mobil kami berhenti di sebuah pusat keramaian di pinggir sungai di bawah Loay Bridge, yang menjadi titik awal wisata River Cruise. Beberapa konter penjual tiket wisata sungai penuh oleh para turis yang mau membeli tiket ataupun mengambil tiket yang sebelumnya sudah dipesan. Rupanya cukup mahal juga biaya ikut tur ini. Per orang mesti membayar 450 peso, plus tambahan 100 peso untuk asuransi kecelakaan. Biaya ini sudah termasuk makan siang prasmanan di atas kapal.
Istri saya dan Mayumi yang sudah kecapean memutuskan untuk tidak ikut tur. Mereka akan bersantai saja makan siang dan mencari oleh-oleh di lokasi ini. Jadi saya dan Bapak Mertua yang akan ikut tur. Rupanya di pelabuhan sungai ini ada 12 dermaga, dan kami akan ikut tur dari dermaga nomor 3 dengan waktu keberangkatan pukul 13.30, yang tinggal beberapa menit lagi. Di seberang sungai, tampak bangunan tua Loboc Church yang memanjang, dan menara loncengnya yang tinggi menjulang. Mengisi waktu luang, saya menikmati penampilan musik dari Rondalla Group yang terdiri dari enam kakek-kakek yang melantunkan musik berirama Latin dan Filipina.

Menu prasmanan river cruise yang ala-ala menu kondangan di kampung.
Tur sungai ini akan berlangsung selama 1 jam, dan tadinya saya mengira kami akan makan sambil berlayar, jadi bisa menikmati sajian sekaligus pemandangan kiri-kanan. Ternyata tidak. Karena ternyata saat makan, kapalnya tidak bergerak, alias statis saja di dermaga, hahaha! Baru setelah selesai makan –menunya lebih mirip menu hajatan di kampung– kapal pun mulai bergerak, diiringi suara penyanyi gitar tunggal yang melantunkan lagu-lagu oldies Everly Brothers, Bee Gees, dan Julio Iglesias.
Yang disebut ‘cruise’ ala Loboc ini adalah dua perahu sampan yang dijejerkan dan dibuatkan rumah dari kayu dan beratap ilalang di atasnya. Para turis makan dan duduk-duduk di sini. Penggerak kapal ini sendiri sebuah perahu kecil bermotor yang terpisah di belakangnya. Jadi si supir ada di perahu kecil ini, dan bertugas mendorong cruise. Hebat juga si supir ini, karena dia kan tidak bisa melihat kondisi sungai di depan kapal. Padahal di sungai ini berseliweran kapal-kapal lain yang juga membawa banyak turis. Yang saya amati juga, Sungai Loboc ini sangat bersih dan berwarna kehijauan. Sama sekali tak ada sampah plastik yang lewat, hanya daun-daun saja yang jatuh dari pepohonan di kanan-kiri sungai.

Asyiknya menyusuri sungai yang bening dan asri dengan kapal ‘cruise’ tradisional.
Kapal bergerak melawan arus sungai yang tenang ke hulu, dan sepanjang pelayaran ini yang kami lihat pohon-pohon nipah dan pepohonan tinggi yang rimbun menghijau, dengan sebuah gunung yang tinggi di kejauhan sana. Sesekali kami melihat sampan dengan dua petugasnya yang berkaos hijau mendayung pelan. Mereka bertugas memastikan keamanan pelayaran, dan juga mengusir anak-anak kampung yang bermain di sungai dan beraktrasi jumpalitan dari dahan pohon ke sungai, dengan harapan mendapat lemparan uang dari para turis. Memang aksi itu bisa membahayakan mereka sendiri, karena kapal-kapal ini hilir mudik di kedua sisi sungai.