Tarsier di Pulau Bohol Filipina
Journey, Mancanegara

Si Mata Belo dari Bukit Cokelat

Kapal kami melewatkan saja sebuah perhentian berupa rumah bambu beratap rumbia yang memajang suvenir-suvenir kerajinan lokal dan juga sebuah grup musik dan tari yang terdiri dari para wanita dan anak-anak. Mereka tengah menghibur para turis dari kapal lain yang merapat. Kapal kami baru memutar setelah melewati air terjun Busay Falls di sisi kiri sungai. Air terjunnya pendek saja, mirip jeram, namun saat itu airnya tengah banyak sehingga menimbulkan bunyi gemuruh.

Kapal kami merapat ke dermaga perhentian, dan langsung para anak gadis yang berpakaian atasan hijau dan rok berbunga-bunga menari-nari diiringi nyanyian dan petikan ukulele para wanita tua yang memakai pakaian serupa namun bertopi bambu. Hanya ada satu penari lelaki di perhentian ini.

Tinikling di Loboc River Cruise Bohol Island

Permainan lompat bambu yang ternyata juga ada di Pulau Bohol.

Satu tarian selesai, tarian berikutnya adalah tinikling. Dua bambu dipasang sejajar dan dua orang memegang kedua ujungnya. Para gadis mencontohkan menari meloncat-loncat di antara kedua bambu yang secara teratur digerakkan ini, mirip dengan tarian lompat bambu di Indonesia. Sejurus kemudian mereka menarik tangan para turis untuk mencoba tinikling ini. Sebuah selingan yang sederhana namun mengesankan, terbukti para turis kemudian menyisipkan lembaran-lembaran peso dan dolar di kotak amal. Hanya saja suvenir kerajinan tas dan sepatu bambu itu tak tersentuh karena kapal segera berangkat.

Aneka suvenir lokal Loboc yang cantik dan murah.

Setelah menempuh perjalanan pergi-pulang sekitar 6 kilometer, kapal pun merapat di dermaga kembali. Kami meneruskan perjalanan dengan mobil dan mampir sebentar ke Loboc Church, yang dibangun tahun 1632. Bangunannya kuno sekali, mengingatkan saya pada gereja-gereja di film Zorro. Gereja ini menjadi salah satu tempat ziarah umat Katolik Filipina karena di sini dimakamkan Pendeta Alonso de Humanes yang dianggap orang suci. Menara loncengnya terpisah oleh jalan raya, dan sekarang di bawahnya dipenuhi warung-warung. Tapi saya tak bisa masuk ke dalam gereja yang tinggi dan panjang ini, karena pintunya terkunci.

Bertemu Lagi Si Mata Belo

Hari sudah jam tiga sore saat kami sampai di The Philippine Tarsier and Wildlife Sanctuary, di luar kota kecil Corella. Kantornya masuk beberapa puluh meter dari jalan raya, sepi dan teduh di kerimbunan pohon. Lembaga ini sejak tahun 1997 melakukan konservasi sekaligus mempromosikan hewan unik ini melalui kegiatan ekowisata. Mereka mengelola hutan suaka tarsius yang luasnya sekitar 8,4 hektar, dari keseluruhan 167 hektar yang meliputi daerah Corella, Loboc, dan Sikatuna. Mereka mempunyai program treking beberapa jam bagi yang ingin belajar tentang tarsius. Namun kami akan ikut tur singkat saja karena hari sudah sore.

Kami diantar salah satu staf, Joannie, untuk mencari tarsius. Hutannya terletak di belakang kantor pengelola, dipagari oleh dinding kawat. Pohon-pohonnya tinggi dan rimbun dan di hutan ini hanya ada jalan tanah setapak yang sekarang basah bekas hujan. Joannie menggandeng Mayumi di depan, sementara kami berurutan di belakangnya. Saya kagum juga dengan Mayumi yang baru berusia 6 tahun. Tadinya saya mengira dia anak mall, namun ternyata dia asyik saja saat diajak masuk hutan.

Rupanya setiap pagi para staf di sini mengecek dulu keberadaan tarsius-tarsius itu, sehingga saat ada pengunjung, pemandu tinggal membawanya ke sana. Sebab umumnya saat siang hari, tarsius hanya mendekam di batang pohon atau gerumbul semak yang rimbun, dan baru keluar untuk berburu saat malam hari.

“Makanannya serangga seperti jangkerik, belalang, kecoak, laron, kumbang, hingga kadal dan katak,” tutur Joannie. Dengan kaki belakangnya yang bertungkai panjang, tarsius bisa melompat sejauh 3 meter dari satu cabang ke cabang pohon lainnya.

Standard

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *