Frauenkirche salah satu landmark Kota Tua Munich dengan menara bawangnya yang khas
Journey, Mancanegara

‘Gempa’ di Kota Tua Munich

Kawasan Kota Tua Munich dari udara. Kiri bawah Frauenkirche, tengah Neues Rathaus

[Dok. Muenchen.de]

Kota Tua Munich menyuguhkan gedung-gedung kuno yang disesaki turis. Bersiaplah dengan goyangan tak terduga di Gereja St. Peter.

 

Kereta bawah tanah S2 yang membawa saya dari stasiun Obermensing berhenti di Stasiun Marienplatz, dan saya pun mencari-cari pintu keluar stasiun yang beberapa dindingnya tengah direnovasi ini. Eskalatornya kelihatan tua, namun berfungsi dengan baik.  Mengikuti arus para penumpang yang pagi ini cukup ramai, saya sampai di permukaan tanah dan tiba-tiba sudah berada di sebuah pelataran luas (plaza) yang riuh oleh orang-orang.

Namun daya tarik plaza ini tak hanya Pilar Maria. Tak jauh dari pilar ini adalah pintu masuk dari bangunan panjang dengan menaranya yang runcing menjulang setinggi 85 meter, yakni Neues Rathaus (Gedung Balai Kota Baru). Perlu waktu 42 tahun (1867-1909) untuk membangun gedung pengganti Altes Rathaus (Balaikota Lama) yang terletak di sisi timur Marienplatz, atau di belakang sekarang saya berdiri. Di belakang saya lagi masih ada Peterskirche atau St. Paul’s Church, gereja tertua di Munich. Sementara di kejauhan depan sana, menyembul dua menara ‘bawang’ yang menjadi landmark kota Munich, yakni menara Frauenkirsche (Church of Our Lady).

Maria menggendong Yesus and boneka-boneka Carillon

Maria yang menggendong Yesus, dan boneka-boneka Carillon yang siap menari.

Saya masuk dulu ke pintu utama Neues Rathaus dan sampai ke halaman dalam yang berisi bangku-bangku dan orang melepas penat sambil makan di sini, semntara para pengunjung lain dalam rombongan mendengarkan penjelasan dari guide yang menerangkan tentang patung-patung gothic yang menyembul di berbagai sisi menara yang menjulang. Di salah satu sudut pintu utama ada lift yang mengarah ke puncak menara, jadi saya pun iseng naik lift ini. Ternyata lift hanya sampai lantai 4, dan di sini mesti membeli tiket 5 euro kalau ingin meneruskan ke menara pandang dengan lift lainnya. Saya pun membeli tiket ke ibu tua satu-satunya penjaga di sini dan meneruskan naik lift.

Udara segar dan sinar matahari pagi menyambut begitu saya keluar dari lift. Rupanya tidak sampai di bagian menara yang mengerucut ataupun paling tinggi, tapi di tingkat yang bentuk menaranya masih segi empat. Dinding  batu menara ini yang berlubang-lubang seperti pagar membuat saya bisa melihat keseluruhan sudut kota dengan memutari dindingnya. Di sisi tenggara tampak menara Altes Rathaus dan Gereja St. Peter. Ternyata menara utaka gereja ini, di bagian yang hampir sama tinginya dengan tempat saya berdiri, juga menjadi menara pandang untuk para turis. Bahkan jumlah turis di sana lebih banyak daripada di menara Neues Rathaus ini. Hmm, sepertinya saya nanti harus naik menara itu juga untuk mencari tahu apa sebabnya.

Marienplatz dengan menara Altes Rathaus, Neues Rathaus dan Frauenkirche

Marienplatz dengan menara Altes Rathaus, Neues Rathaus dan Frauenkirche.

Jika melihat ke utara dari menara ini, tampak sebuah bangunan gereja lain yang berwarna kuning. Tak lain ini adalah Theatinerkirche (Theatines’ Church) yang ada di Odeonplatz. Sementara kalau mlihat ke selatan, di sisi bawah adalah orang-orang yang myemut di Marienplatz. Sementara kalau melihat cakrawala jauh di sana, tampak bayangan deretan Pegunungan Alpen dengan beberapa puncaknya yang masih tertutup salju.

Di sisi baratlah pemandangan yang lebih spektakuler menanti, karena dari menara ini kita bisa melihat lebih jelas sepasang ‘menara bawang’ Frauenkirche yang berwarna hijau, termasuk bangunan gerejanya yang cokelat memanjang dengan atap berwarna merah. Menara bawang ini merupakan landmark kota Munich dan selalu menjadi foto di sampul buku-buku panduan wisata tentang Munich. Langit biru dan cuaca cerah membuat saya tak bosan-bosa memotret menara kembar ini, meski sekarang fotonya tidak sempurna karena bagian bawah kesua menara itu diselimuti jaring pengaman karena tengah direnovasi.

Saya turun dan menuju Gereja St. Peter. Memasuki pintu gereja yang ada di samping kanan, saya mengira pintu masuk ke menara pandangnya dari situ. Ternyata bukan, karena di sini merupakan ruang utama para jamaah yang hendak berdoa. Seorang bapak penjaga yang berpakaian jas rapi menunjuk ke pintu keluar di sisi kiri. “Setelah keluar, belok kanan,” katanya. Saya sempat melihat deretan bangku gereja dan patung-patung para santo di kiri-kanan atasnya, dan sebuah altar bergaya barok di bagian ujung sana. Wheww, altarnya besar dan tinggi seperti hendak mencapai langit-langit ruangan gereja, serta penuh ukiran.

Standard