Seorang teman wartawan lain, Rizal, tanpa pikir panjang juga mau ikut. Atas saran seorang staf hotel, kami disarankan ke Baywalk dan Kinabuch dengan naik tricycle alias bajaj Filipina.
“Tapi kalau mau menikmati live music, sebaiknya ke Tiki Bar saja, karena di Kinabuch hanya musik dari CD,” sarannya. “Kalau naik tricycle, per orang membayar sekitar 10-12 peso. Tapi untuk bertiga ke Baywalk, kira-kira tiga orang membayar 50 peso, dan 50 peso lagi dari Baywalk ke Tiki Bar.”
Dia pun segera meminta satpam hotel untuk menyetop tricycle yang lewat, dan semenit kemudian kami bertiga sudah melaju di jalan aspal yang dingin bekas hujan tadi sore.
Tricycle ini kabin penumpangnya di sisi kanan sang supir, dan cukup untuk tiga penumpang. Satu penumpang menghadap ke belakang, dua menghadap ke depan. Tricyle masih bisa muat satu orang lagi, di jok belakang si supir. Di kabin, Rizal duduk menghadap ke belakang, saya dan Christian menghadap ke depan. Tapi saya salah posisi, karena duduk tepat di samping si supir, dan ternyata di depan saya kabinnya berongga alias bolong – memang semua tricycle begitu. Jadi, angin malam dari bawah dengan leluasa menggerayangi seluruh tubuh saya. Waduh, kalau yang naik perempuan dan pakai rok, pasti bakal masuk angin, hahaha!
Sepertinya perjalanan ini menjadi an endless journey karena dari tadi kok tidak sampai-sampai ke Baywalk ya. Saya jadi berpikir, kayaknya ongkos 50 peso itu terlalu murah deh, hahaha!
Dan begitu sampai…
Lho…
Kok sepi?
Tidak ada satu warung pun yang buka. Semuanya tutup, dan pinggir pantai ini sepi seperti terminal angkot yang angkotnya sudah pulang semua.
Yaah, nggak jadi makan, eh… motret lechon deh.
Ya sudah, kami meneruskan saja perjalanan ke Tiki Bar. Dan lagi-lagi, kayaknya kok jaraknya jauh banget ya. Baru sekitar 20 menit kemudian kami sampai lagi ke jalan raya yang cukup ramai, dan papan nama Tiki Bar langsung menyapa begitu kami memutar di sebuah perempatan.

Grup musik ‘impor’ dari Manila, yang ternyata tabu nyanyi lagu Filipina.
Malam baru menjelang pukul 9, dan di panggung masih persiapan untuk live music. Pengunjung bar sudah cukup ramai menempati kursi-kursi dan meja dari kayu di depan panggung. Kami duduk agak di belakang yang lebih remang-remang. Di belakang atas dan kiri kami ada balkon berlantai kayu dan cukup luas, cocok buat yang ingin menyendiri ataupun ingin lebih leluasa menonton ke arah panggung.
Seorang pelayan menyodorkan buku menu, dan setelah membaca dari depan sampai belakang, pandangan saya terantuk pada menu… crocodile sisig! Ahayy, yang saya idam-idamkan akhirnya ketemu juga di sini. Saya sampai lupa berapa harga menunya, yang penting kami pesan saja satu porsi.
Grup nyanyi yang tampil malam ini didatangkan dari Manila, dan kini sudah naik ke panggung. Mereka terdiri dari tiga cewek bercelana jins pendek dan memakai tanktop, dan seorang cowok yang agak feminin. Segera saja mereka bergantian menyanyikan lagu-lagu yang tengah hits saat ini. Cuma kemudian saya tahu, para penyanyi lokal ini sepertinya enggan atau malu atau tabu menyanyikan lagu-lagu lokal Filipina sendiri. Jadi yang mereka nyanyikan lagu-lagu Barat semua.

Akhirnya, si sisig buaya. Kira-kira deskripsi makanan ini gimana ya?
Sisig pesanan kami datang dan disajikan dalam piring hot plate, bersama sepotong calamansi. Kalau bisa saya deskripsikan, sisig ini tak lain adalah daging buaya giling yang ditumis (bayangkan seperti nasi goreng ataupun corned beef yang ditumis lagi), dengan bumbu yang banyak dan menutupi seluruh permukaannya. Bumbunya kemungkinan bawang putih, kucai, garam, dan cabai rawit merah. Agak susah saya mengira-ngiranya karena keadaan di klub ini minim penerangan.
Christian segera menyendok dan memakannya dengan lahap, dan segera menyendok lagi. Sementara saya, mencoba satu sendok dulu. Rizal dengan halus menolak untuk mencicipinya. Begitu sisig masuk mulut, rasanya saya seperti makan… nasi goreng yang lembek. Gurih bumbunya mendominasi, mungkin untuk menutupi rasa dagingnya. Cuma sepertinya tidak hanya daging saja yang digiling, tapi juga ada bagian ototnya, karena saya sempat menggigitnya dan agak alot dikunyah. Tapi secara keseluruhan okelah, tidak ‘mengerikan’ seperti bayangan sebelumnya.
Christian menghabiskan sepiring sisa dagingnya, dan dia tampak normal-normal saja. Cuma dia tetap tinggal di klub ini sampai jam 2 pagi, sementara saya dan Rizal pulang ke hotel pas jam 12 malam karena mata sudah lima watt. Goodbye Palawan dan Puerto Princesa, terima kasih karena telah memberi saya pengalaman makan yang tidak biasa. [T]