Palawan Crocodile Farm Puerto Princesa The Philippines
Journey, Mancanegara

Makan Buaya di Puerto Princesa

Seperti biasa, orang Filipina sepertinya tidak bisa menyeduh kopi. Yang ada hanya kopi instan, dan si Mbak penjaga warung juga membuatnya dengan menuang air lebih dulu ke dalam gelas stirofoam, baru kemudian kopi, dan sedikit sekali gula. Sampai-sampai saya meminta wadah gulanya dan menambahkan sendiri supaya kopinya tidak terlalu pahit.

Begitu hendak balik ke salah satu saung di pinggir pantai, saya melewati satu warung yang ditunggui beberapa wanita, dan mereka memajang berbagai hasil laut segar di atas meja kayu. Tadi saya melewatinya, tapi tidak ngeh apa yang menarik.

Come here Sir, try our oyster. It’s very cheap,” tawar seorang ibu yang usianya sekitar 60-an. Wajahnya tidak ada bedanya dengan wajah orang Jawa. Orang Filipina, baik yang pendidikannya tinggi maupun yang ‘biasa-biasa saja’ memang umumnya bisa berbahasa Inggris, karena Filipina cukup lama dijajah Amerika. Inilah salah satu kelebihan kalau kita traveling ke Filipina. Di mana-mana kita bisa bertanya dalam bahasa Inggris, dan mereka akan menjawab dan membantu sebisa mungkin.

Di warung ini ada landak laut (sea urchin), kerang batu (rock osyter) yang berbentuk tidak beraturan. Ada juga udang kipas, dan sekeranjang kepiting. Ibu Fergie yang menawari tadi, didampingi anaknya, Ailyn, berusaha meyakinkan saya bahwa landak laut yang tubuhnya bulat berduri-duri itu tidak beracun, dan juga enak dimakan.

“Cukup diberi cuka, lalu disendok,” tutur Ailyn. “Cuma 100 peso, kok.” Satu peso Filipina sekitar Rp 280.

Sea Urchin, saudaranya bulu babi.

Sea Urchin si kerabat bulu babi. Tinggal buang lendir hitamnya

Christian, wartawan sebuah koran dan teman sekamar di trip ini, ikut mendekat dan dia langsung memutuskan untuk mencicipi hewan yang masih satu keluarga dengan bulu babi itu. Fergie mengambil satu landak laut –ternyata durinya cukup lunak, tidak kaku runcing– lalu mengiris bagian bawahnya dan membalikkan hewan itu dengan tangan sehingga kini tampaklah bagian dalamnya yang berongga, mirip mangkuk kecil. Terlihat dua jalur telur (roe) berwarna kuning bersilangan, dan lendir kecokelatan. Fergie membuang lendir itu dengan sendok plastik, lalu memeras sebuah calamansi (jeruk peras kecil) sehingga airnya menggenangi sebagian telur landak laut itu. Christian menyendok air perasan itu sambi mengerik satu jalur telur, dan menyantapnya. Saya tidak ketinggalan dong, menyantap satu jalur telur. Hmm, ternyata rasanya gurih dan sedikit crunchy, bercampur rasa asam-manis air jeruk. Pantas saja orang-orang Jepang suka menyajikan menu telur ini untuk sushi.

Christian menghabiskan sisa telurnya, dan tak lama kemudian teman-teman dari travel agent juga datang dan ikut membeli. Tidak hanya sea urchin, tapi juga kerang batu yang satu nampan berisi 10 kerang hanya 200 peso, serta lima ekor kepiting seharga 400 peso. Kepiting itu direbus dulu oleh Fergie, sementara kerang batunya dimakan mentah, hanya dituangi sedikit cuka. Ternyata di balik cangkangnya yang tidak menarik untuk dilihat, daging di dalamnya terasa segar dan kenyal, tanpa bau amis sedikitpun. Mungkin karena baru ditangkap pagi hari tadi.

Rock Oyster, Palawan, Filipina

Jangan terkecoh dengan penampilan luar rock oyster yang ‘berantakan’.

Jadi, waktu yang singkat di pulau ini kami habiskan dengan pesta seafood, dan juga ngobrol-ngobrol dengan Fergie dan Ailyn. Ternyata mereka ibu dan anak. Fergie bersama suaminya sudah 40 tahun ditugaskan oleh pemilik pulau untuk menjaga pulau ini. Tidak ada penginapan di sini, dan juga tidak diperbolehkan kemping. Jadi memang pulau ini untuk mampir saja saat island hopping.

Kami kembali berperahu menuju daratan Pulau Palawan, dengan sebuah ironi melintas di pikiran. Rasanya kok lucu, saya baru berani mencoba makan telur landak laut dan kerang mentah setelah jauh-jauh ke sini. Padahal saya sudah berkali-kali island hopping ke Kepulauan Seribu, tapi kok tidak pernah kepikiran untuk mencobanya ya?

Akhirnya, di Tiki Bar…

Saya dan Christian sengaja makan sedikit saja saat dinner di hotel, karena dia berencana untuk makan lechon di luar, dilanjutkan dengan hangout di Kinabuch. Tadi rupanya dia sudah googling, dan tempat yang tepat untuk mencari lechon alias babi guling itu di kawasan Baywalk di pinggir pantai. Saya pun ikut, bukan karena mau makan lechon, tapi setidaknya supaya punya foto-fotonya.

Standard

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *