Hmm, buat obat kuat ya. Sama dong seperti balut. Itu, telur bebek yang sudah diperami hingga sekitar 17 hari, sampai embrio di dalamnya cukup besar dan sudah tumbuh bulu sayap dan tulang-tulang muda. Kemudian telur itu direbus dan dijual di pinggir-pinggir jalan sebagai camilan. Harga sebutir balut antara 25-30 peso. Saya sudah pernah dua kali memakannya tahun lalu sewaktu ke Cebu City di Pulau Cebu, Filipina Tengah. Sebaiknya memakannya di tempat yang agak gelap supaya kita ‘tega’ mengunyah embrio itu, dan jangan lupa siapkan sebotol Coca-Cola atau bir. Jadi begitu mulut terasa mual, kita bisa langsung menyumpalnya dengan minuman itu. Cuma sepertinya di Palawan ini tidak ada orang yang menjual balut. Sebaliknya, di Cebu juga saya tidak atau belum menemukan cemilan seperti sisig atau tamilok.

Keluar dari Underground River. Sayang, di dalam lebih banyak gelap gulita.
Dari dermaga kota kecil Sabang, kami mesti menyeberang lagi dengan perahu selama sekitar 20 menit untuk sampai ke pantai dekat muara sungai yang menjadi pintu masuk ke Undergroud River. Jadi ini sebenarnya sebuah ‘gua bersungai’ yang besar dan panjang, menembus perut Gunung St. Paul. Versi kecilnya kalau di Indonesia mungkin seperti Gua Pindul di Yogyakarta. Untuk menjelajahinya kami perlu memakai sampan lain yang lebih kecil. Pantas saja destinasi ini pernah terpilih menjadi salah satu Natural Wonders of the World tahun 2013, karena kemegahan dan uniknya lansekap stalaktit yang ada di dalamnya. Meski, sebenarnya, saya kurang bisa menikmatinya karena hampir di sepanjang perjalanan dengan sampan itu keadaan gelap gulita karena hanya dipandu sebuah senter milik pemandu.
Kembali ke dermaga Sabang, kini saatnya makan siang di Gusto Grill & Bar. Restonya sederhana di pinggir pantai berpasir hitam, dan suasananya mengingatkan saya akan daerah Pantai Batukaras di Pengandaran, Jawa Barat. Nah, saat makan inilah, seorang pelayan resto bertanya, “Apakah ada yang mau makan tamilok?”
Anehnya, saya dan beberapa teman bloger lain menggeleng. Pikiran saya waktu itu, masa sudah mau makan siang, kami makan cacing dulu? Nanti bisa-bisa tidak berselera lagi makan makanan berikutnya.
Namun saat makan siang hampir selesai dan saya tinggal menghabiskan air kelapa muda, seorang teman dari travel agent menghampiri kami. “Eh, cobain ini. Enak lho!” katanya kepada saya, Aria, dan Fahmi yang duduk satu meja. Dia membawa piring yang biasa dipakai sebagai tempat saus. Yang satu bagian berisi campuran cuka merah dan air jeruk nipis, dan satu lagi berisi… cacing tamilok. Warna cacingnya abu-abu mengilat, terendam di dalam cairan tubuhnya sendiri. Bentuknya ya seperti cacing atau kulit cumi-cumi yang masih kecil gitu. Atau bisa juga dibilang bentuknya seperti ingus orang yang flu berat, hahaha!