Tamilok ini hewan laut yang semenjak bayi berenang di laut untuk mencari unsur selolusa di dalam kayu, yang menjadi makanan utamanya. Begitu menemukan kapal kayu –atau pohon bakau mati– tamilok ini langsung menempel dan mulai melubangi kayu dengan sepasang cangkang depannya yang seperti gigi mesin pengebor terowongan. Seluruh badannya memenuhi terowongan yang dibuatnya, dan menjadi saluran untuk mengalirkan dan mencerna kayu yang dimakannya. Makin lama kayu yang dibor semakin panjang dan banyak, hingga menjadi seperti labirin. Akibatnya kayu pun keropos dan kapal bisa bocor dan tenggelam. Nah, untuk mengambil tamilok ini, kayu mesti dibelah dengan kapak atau golok, nanti baru ketahuan di dalamnya ada tamilok dan jalur-jalur terowongan yang dibuatnya. Tamilok lalu dicuci di air mengalir untuk membuang isi perutnya. Kadang kepalanya dibuang –seperti yang disajikan ke saya sekarang ini– tapi ada juga yang dibiarkan. Jadi orang bisa memakannya dengan memegang kepalanya, lalu mengangkat tinggi-tinggi agar menjulur panjang, baru dimasukkan ke mulut.

Tamilok, si tukang ngebor. Yakin berani coba?
Tamilok yang disajikan ke saya ini relatif kecil, lebih kecil dari jari kelingking. Tapi di daerah Sultan Kudarat, di Pulau Mindanao bagian barat, konon ukuran tamiloknya bisa sebesar lengan dan panjangnya sekitar satu meter. Pasti makannya mesti dipotong-potong dulu.
Tamilok kini sudah di depan mata, jadi mau tak mau saya mesti mencicipinya. Cacingnya menumpuk, jadi saya mesti mengorek-ngoreknya dengan garpu untuk mengambil salah satu. Yang paling pendek, tentu saja. Sebab sewaktu mengambil yang pertama, ternyata panjangnya hampir 30 cm. Bisa keselek kalau saya nekat memakannya. Sepotong tamilok sudah melilit di garpu –sudah mati, tapi masih segar karena biasanya disimpan dalam es– dan saya celupkan ke cuka, lalu langsung masuk mulut dan saya kunyah.
Hmm, aroma segar, rasa asam dan daging yang empuk kenyal segera memenuhi rongga mulut. Rasanya seperti apa ya. Kalau bisa dijelaskan, rasanya seperti menggigit cumi-cumi kecil yang masih mentah. Tidak amis, dan juga tidak langu seperti bau cacing tanah (yang ini tidak pernah makan sih, cuma sempat mencium baunya kalau cacing ini dipakai sebagai umpan mancing). Meski rasanya ‘netral’ tapi saya cukup mencoba sepotong saja deh, nggak berani nambah. Dan sayangnya, kok daging tamiloknya masih ada yang menyelip di gigi ya. Arrrgggghh!
Hikmah Cuaca Buruk
Dari Sabang, kami berkendara lagi dan mampir sebentar ke Sheridan Beach Resort & Spa, sebuah resor pinggir pantai dengan kolam renang yang besar di tengah-tengahnya. Lalu perjalanan dilanjutkan menuju dermaga perahu di Honda Bay. Rencananya, kami mau island hopping ke beberapa pulau cantik di kawasan ini, seperti Pandan Island, Cowrie Island, Snake Island, Bat Island, Starfish Island, Senorita Island, dan Arceceffi Island.

Agak mendung di Sheridan Beach Resort and Spa. Padahal kolam renangnya keren.
Sayangnya, hujan deras mengguyur sepanjang perjalanan, dan begitu sampai dermaga penyeberangan, sisa hujan masih terus berlanjut. Langit dan laut pun kelabu. Tapi kami tetap berperahu, meski kali ini tujuannya hanya satu, ke Pandan Island yang paling dekat, untuk mengantisipasi kalau-kalau cuaca memburuk lagi.
Saat cuaca kurang bagus seperti ini, Pandan Island ataupun pulau-pulau di Karimunjawa atau di Kepulauan Seribu pun sama saja, kelihatan ‘biasa’. Saya pun tidak bernafsu untuk snorkeling meskipun baju renang dan snorkel gear sudah siap. Setiba di pulau, saya mencari warung kopi, yang terletak agak di dalam. Ada beberapa saung untuk bersantai turis, warung-warung, beberapa rumah penduduk, bar, gereja kecil, dan toilet.