Tak cuma ‘lapangan bola’ yang ada di samping puncak Bromo, namun juga batu keripik, bunga edelweis, dan sumber angin dari perut bumi.
Ini untuk yang kedua kalinya saya berdiri di sini, di bibir kawah Gunung Bromo. Tangga yang menuju ke puncak Bromo dari bawah sana, sudah saya lewati. Begitu pula pagar tembok yang mengelilingi bibir kawah, yang menjadi pengaman bagi para pengunjung yang ingin melongok isi kawah. Kini yang terbentang di depan saya adalah jalan tanah berpasir selebar kira-kira dua meter, dengan tanpa penghalang di kanan-kiri. Di kanan saya kawah mengepulkan asap putih terus-menerus, sementara di sisi kiri saya jurang, dengan permukaan tanahnya terlapisi warna perak, bekas semburan material Bromo sewaktu meletus beberapa waktu lalu.
Februari tahun lalu, saat pertama kali saya ke sini bersama Pak Puliono, Pak Mulyadi, Arif, dan Purnawan, saya langsung tercekat begitu pagar tembok ini berakhir dan jalan tanah di depan saya seperti putus karena diselimuti asap dan kabut tebal. Namun kali ini, untungnya, hampir tidak ada kabut. Meski cuaca tidak bisa dibilang cerah, namun lebih bersahabat dibanding tahun lalu. Jarak pandang kini lumayan jauh, dan saya bisa melihat alur jalan di bibir kawah ini hingga kira-kira 25 meter ke depan.
Ini pendakian ulangan dalam rangka menuju Lautan Pasir Atas, atau yang oleh orang Tengger disebut Segoro Wedi Anakan. Turis biasa yang ke Bromo umumnya hanya tahu Lautan Pasir Bawah, yang mengelilingi Gunung Bromo dan Gunung Batok, dan di tengahnya terdapat Sanggar Pamujan (Pura) Poten. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa di atas sana, di sebelah selatan kawah Bromo, ada juga lautan pasir lain, dengan ukuran yang lebih kecil daripada lautan pasir di bawah.
Tahun lalu kami sebenarnya sudah hampir sampai, bahkan sudah berada di atas Segoro Wedi Anakan. Namun karena cuaca buruk dan hujan, kami pun mengurungkan niat untuk turun ke lautan pasir itu, sekitar 1 kilometer di bawah kami. Lagipula lautan pasir itu seluruhnya tertutup oleh kabut kelabu, sehingga kami tak bisa melihat apa-apa. Kini, minus Arif, kami berempat mencoba ke sana lagi, dan bila mungkin akan menaiki Gunung Watangan yang penuh edelweis di sebelah selatan Gunung Bromo. Dari sana nanti kami sekalian pulang ke basecamp kami di Desa Ngadas, selatan Gunung Watangan. Jadi tidak pulang melalui anak tangga Bromo lagi.
Mendaki dengan Telanjang Kaki
Baru saja kaki saya melangkah, tiba-tiba saya hampir saja terpeleset! Ternyata, saat tidak ada hujan seperti sekarang ini, tanah berpasir yang saya pijak ini licin dan sol sepatu saya yang sudah agak aus tidak bisa mencengkeram tanah dengan baik. Rupanya, jika tidak terkena hujan, pasir di permukaan tanah kering ini menjadi bertebaran dan bisa membuat kaki terpeleset. Sementara jika musim hujan, pasir ini memadat dan membuat jalan lebih mudah dilalui. Jadi, sebenarnya mengelilingi kawah Bromo saat musim hujan atau kemarau, masing-masing mempunyai tantangan tersendiri.