Saya pun mencopot sepatu, dan menitipkannya ke Pak Mulyadi, mantan kepala desa Ngadas yang rumahnya saya pakai sebagai basecamp, dan ikut lagi dalam pendakian ini. Pak Puliono, pemandu kami, sudah melaju di depan, diikuti Purnawan, dosen dan peneliti masyarakat suku Tengger. Tidak seperti pendakian tahun lalu, di mana dia selalu tertinggal karena tak tahan menghirup gas belerang dari kawah, kali ini, tanpa gangguan gas, Purnawan melenggang dengan cepat.

Saat jalur pendakian menyempit, kadang batin mempertanyakan mengapa saya mesti mendaki gunung ini.
Ternyata enak juga mengelilingi bibir kawah Bromo dengan bertelanjang kaki! Pijakan terasa lebih stabil, dan kaki terasa lebih bebas. Saya bisa melangkah lebih cepat, menyusul Purnawan. Meskipun kini cuaca mulai mendung, namun dengan tidak adanya kabut, pemandangan dinding kawah Bromo yang terlapisi warna putih perak menjadi lebih spektakuler dibanding tahun lalu. Tidak ada satu pun rumput atau tumbuhan yang kami temui sepanjang bibir kawah ini.

Jalur di belakang sana tertutup kabut lagi. Lihat sudah sejauh mana kami mendaki.
Tanjakan pertama dan kedua sudah saya lalui, dan setelah terengah-engah, akhirnya saya sampai juga di tanjakan terakhir, di mana di sini terdapat pertigaan yang salah satu cabangnya menurun menuju Segoro Wedi Anakan. Perasaan lega memenuhi rongga dada, begitu saya sampai ke pertigaan dan sekaligus titik tertinggi ini. Rasanya pendakian kali ini jauh lebih cepat daripada di tahun kemarin. Saya hitung, perlu waktu sekitar 40 menit untuk sampai ke pertigaan ini dari puncak tangga Bromo.

Lautan Pasir Atas di depan-bawah sana. Masih tertutup kabut tapi tak separah di kunjungan pertama.
Tetumbuhan Langka
Jalan yang menurun menuju lautan pasir kini ada di kanan kami. Berbeda dengan pendakian tahun lalu, Segoro Wedi Anakan kini tampak nyata di depan bawah sana, berupa cekungan lautan pasir yang luasnya kira-kira dua kali kawah Bromo. Pasirnya tampak sama hitam dengan Lautan Pasir Bawah, dan di beberapa bagian tampak basah seperti tergenang air. Dan ternyata, setelah mengetahui letak dan bentuk Segoro Wedi Anakan ini, kami tidak begitu berhasrat lagi untuk turun ke sana. Jadi, atas saran Pak Puliono, kami berbelok ke kiri, menyusuri punggungan yang menuju Gunung Keduwung dan Gunung Kursi.
Yang dimaksud ‘gunung’ oleh Pak Pul ini bentuknya tidak selalu kerucut seperti Gunung Batok, melainkan hanya sebuah punggungan bukit yang tinggi dan sambung-menyambung. Disebut Gunung Kursi, misalnya, karena ada salah satu lekukan di bagian puncaknya yang berbentuk mirip kursi.