Saat tenang, Merapi adalah tetangga yang memesona, membuat saya lupa akan kehancuran yang sering ditimbulkannya.
Suara azan subuh baru saja berlalu, dan para penghuni rumah-rumah di pinggir jalan raya di utara kota Jogja ini masih terlelap dalam mimpi. Tapi Andri, adik bungsu saya yang sekaligus menjadi ‘tukang ojek’ melajukan motornya dengan cepat. “Paling 30 menit juga sampai,” katanya.
Kami hendak mengikuti Merapi Sunrise Tour di Kaliadem, sisi selatan Gunung Merapi. Kemarin Andri sudah mengontak salah satu grup penyewaan jip Willys yang akan membawa kami tur, dan semalam mereka mengontak balik untuk memastikan supaya kami datang pagi-pagi. Cuaca Yogyakarta sedang tidak menentu, dan berangkat pagi ini untuk memaksimalkan kemungkinan mendapatkan cuaca yang bagus.
Mas Slamet Raharjo yang berkerudung sarung sudah menunggu di pangkalan tur dengan jip Willys-nya. Dialah yang akan membawa kami sekaligus sebagai pemandu. Langit di timur mulai memburat kekuningan, dan Mas Slamet pun segera membawa kami ke timur, melewati jalan-jalan tanah berpasir yang bergelombang dan menaik. Meski terguncang-guncang, saya cukup heran dengan mesin jip Willys keluaran tahun 1954 ini yang masih terdengar halus. “Mesinnya sudah saya ganti pakai Toyota Corona, Mas,” Slamet membuka rahasia. “Kalau pakai mesin asli, bensinnya boros sekali. Satu liter cuma untuk 5 kilometer. Kalau pakai mesin sedan, bisa menempuh dua kali lipatnya.”
Slamet lalu bercerita bagaimana dia mendapatkan jip tua itu. Di kawasan wisata Merapi ini ada sekitar 150 jip Willys. Belum lagi Hardtop, Landcruiser, dan motor-motor trail. Jip Willys itu ternyata didatangkan dari Pati dan Jepara, Jawa Tengah. Ada orang yang sengaja mencari jip hingga ke sana, dan menjualnya ke penduduk di sini. “Dari sana ya, paling Rp 20 juta. Tapi setelah sampai sini harganya bisa Rp 30-35 juta,” tutur bapak dua anak ini. Dia membeli jip itu sekitar dua tahun lalu seiring menggeliatnya wisata Merapi ini, dan terima beres saja di rumah.