Akibat sering ‘pindah tangan’ dan berganti penguasa, Melaka menjadi kota yang kaya warna. Nikmati keunikannya dengan berjalan kaki, naik beca, atau ikut tur wisata sungai.
Aku yang dulu
Bukanlah yang sekarang
Dulu ditendang
Sekarang ku disayang
Dulu dulu dulu ku menderita
Sekarang aku bahagia…
Hampir saja saya tertawa mendengar lagu ini. Ini kan lagu yang sering dinyanyikan anak-anak pengamen di Jakarta. Tapi kini tiba-tiba saya mendengarnya lagi di Melaka, Malaysia, saat saya naik beca yang disupiri Diah.
Sepertinya Diah yang berambut cepak dan agak tomboy ini adalah satu-satunya penarik beca wanita di sini. Tadi, di depan Christ Church, banyak berjejer beca hias, menawarkan jasa kepada turis-turis yang memenuhi pelataran landmark kota Melaka ini. Saya meminta mereka mengantar ke Hotel Hatten (hattenhotel.com) tempat saya menginap, beca-beca itu minta 20 ringgit (sekitar Rp 66 ribu) yang menurut saya mahal untuk jarak tempuh ke hotel yang hanya 150 meter. Saya menawar 10 ringgit tapi mereka tidak mau, sampai akhirnya saya berjalan dan bertemu Diah, dan dia mau 15 ringgit.
Tulisannya memang beca, tanpa huruf ‘k’. Bentuknya seperti becak di Siak-Pekanbaru, dengan si supir menggenjot pedal dari samping kanan penumpang. Tapi di sini kelebihannya sepeda dihias dengan tudung seperti sayap kupu-kupu dan hiasan renda berbentuk lambang love, lengkap dengan boneka-boneka Hello Kitty. Warna beca umumnya pink, merah, oranye, atau kuning. Saat malam, lampu-lampu kecil yang menghiasi beca ini menyala dengan meriah. Dan satu lagi. Setiap beca dilengkapi speaker yang dihubungkan dengan handphone jadul yang diletakkan di kantong di dekat stang beca. Sewaktu saya naik, Diah mengambil hp ini dan menekan-nekan tombolnya, kemudian terdengarlah lagu yang bikin saya hampir tertawa itu.
(Di hari berikutnya sewaktu saya ke reruntuhan Gereja St. Paul, saya mendengar beca yang memutar lagu Camellia II ciptaan Ebiet G. Ade. Padahal ini lagu yang sudah saya dengar di desa saya di Jawa waktu kelas 4 SD, sekitar 33 tahun yang lalu!)
Diah merupakan salah satu dari puluhan penarik beca yang ikut merasakan dampak positif booming pariwisata Melaka. Terlebih sejak kota bersejarah ini, bersama dengan kota George Town di Penang, terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site pada 7 Juli 2008. Hotel-hotel megah kini berdiri di Melaka, begitu juga ruko-ruko baru untuk mengakomodasi kegiatan bisnis dan wisata yang meningkat. Untungnya, pembangunan ini tidak mengganggu kawasan-kawasan bersejarah yang menjadi kebanggaan Melaka.
Keramaian kota Melaka sebenarnya hanya berpusat di kawasan Dutch Square di mana Christ Church dan Stadhuys terletak, beserta area-area di dekatnya seperti Jonker Street, Menara Taming Sari, Benteng Porta de Santiago, dan Gereja St. Paul. Kesemuanya bisa dikunjungi dengan berjalan kaki. Area ini penuh oleh para turis Eropa dan Asia. Setiap hari, jalan-jalan yang relatif sempit di area ini disesaki oleh manusia dan juga mobil-mobil pribadi dan bus-bus wisata.
Banyaknya situs warisan dunia di sini, ditambah banyaknya godaan lain seperti toko-toko kecil yang menjual aneka makanan dan suvenir membuat kota ini tak akan cukup hanya dijelajahi dalam satu atau dua hari. Namun kalau punya waktu yang sempit, tempat-tempat berikut pun akan membuat kunjungan kita di Melaka berkesan dan penuh warna.
Dutch Square
Di sini terletak gedung Stadhuys yang berwarna merah salmon, dengan dinding yang tebal, dikombinasikan dengan kayu lokal. Gedung yang mulai tahun 1982 difungsikan sebagai Museum of History and Ethnography ini dibangun di masa kolonial Belanda (saat itu masih VOC – Kongsi Dagang Hindia Timur) pada tahun 1650. Fungsinya sebagai pusat administrasi maupun tempat tinggal resmi gubernur. Di dalam bangunan ini ada ruang sekretariat, rumah kepala dagang, kantor perdagangan, ruang makan, ruang sembahyang, rumah tamu, kamar-kamar para pelayan, gudang, toko roti, dan juga penjara. Sekarang ini, hanya 1 ruangan saja yang masih mempunyai langit-langit kayu bergaya Belanda yang dipenuhi lukisan bunga-bunga.