Dibanding Bandung, Garut tidaklah crowded, serta menawarkan banyak tempat unik dan aktivitas asyik untuk dikunjungi, bahkan saat weekend.
Selalu menyenangkan untuk kembali dan kembali lagi ke Garut. Apalagi jaraknya tidak jauh, hanya sekitar 3-4 jam naik bis umum dari Jakarta. Sebagian orang suka dengan dodolnya yang sudah menjadi trade-mark Garut sejak lama. Yang lain suka dengan suasana resor Kampung Sampireun yang asri dan benar-benar ‘Sunda’. Saya sendiri lebih suka Cipanas, di mana deretan penginapan, resor, hingga fasilitas umum semuanya menawarkan keasyikan yang sama: air panas alami yang membuat badan jadi relaks.
Yakin deh, kalau cuma sekali saja ke sana saat akhir pekan, daftar tempat di bawah ini nggak akan bisa semuanya dikunjungi. Apalagi kalau ditambah hingga ke Pantai Pamengpeuk atau Pantai Santolo di ujung selatan Kabupaten Garut, yang perlu waktu 2-3 jam sendiri dari kota Garut.
1. Situ dan Candi Cangkuang
Ini obyek wisata pertama yang akan dijumpai, beberapa kilometer sebelum kita masuk ke kota Garut. Situ (danau) Cangkuang dengan sebuah candi Hindu di pulau di tengahnya ini sebenarnya tempat wisata untuk ‘orang biasa’ yang hendak berziarah. Tapi asyik juga kalau kita mampir untuk menikmati keunikan rakit penyeberangannya. Rakit bambu ini panjangnya sekitar 30 meter, dan bisa mengangkut puluhan orang. Sambil menyeberang, iringan musik dari grup pengamen menemani kita menikmati panorama sekitar danau. Usahakan datang ke sini pagi sekitar jam 8-9.
Candi Cangkuang, yang ada di tengah danau, diperkirakan berasal dari abad ke-8. Di dalamnya ada arca Dewa Shiwa berukuran kecil, sedang bersila di atas lembu Nandi. Uniknya, di samping candi ini terdapat makam Embah Dalem Arif Muhammad, yang menyebarkan agama Islam di daerah ini pada abad ke-17. Ia mempunyai keturunan 6 anak perempuan dan 1 laki-laki. Rumah-rumah anak perempuan yang semuanya enam, bentuknya rumah semi-panggung, mengelilingi sebuah masjid kecil, membentuk sebuah kampung yang dinamakan Kampung Pulo. Jumlah rumah ini dipertahankan tetap enam, sehingga jika ada keturunan Embah Dalem yang membentuk keluarga baru, ia mesti keluar dari kampung ini.
2. Cipanas dan Gunung Guntur
Beberapa kilometer dari Situ Cangkuang, begitu sampai di Jalan Tarogong Raya, beloklah ke kanan begitu ada penunjuk jalan ke arah Cipanas. Sebagian besar orang yang berwisata ke Garut menginap di daerah ini, dan jarang sekali yang menginap di kota Garut. Alasannya sederhana: Cipanas mudah dijangkau angkutan umum, banyak tempat makan, dan terutama… sumber air panas alami yang melimpah.
Tersedia banyak tempat menginap mulai dari resor mewah seperti Kampung Sumber Alam (www.resort-kampungsumberalam.com), Hotel Danau Deriza, Tirtagangga, Sabda Alam, dan sebagainya, sampai penginapan murah bertarif 75 ribu per malam. Resor dan hotel-hotel ini memang rada susah booking-nya kalau mendadak, apalagi kalau weekend. Tapi kalau mau go show, tidak usah khawatir karena penginapan di sini banyak sekali, bahkan sampai masuk ke gang-gang.
Yang unik ya itu tadi, dari resor kelas atas sampai penginapan murmer ini, semuanya menyediakan fasilitas air panas mengandung belerang, langsung dari sumbernya. Pemandian-pemandian umum juga buka hampir 24 jam. Jangan heran kalau ada orang berenang jam 2 atau jam 4 pagi. Semuanya itu mungkin karena airnya panas. Cipanas juga tempat menginap favorit para pendaki yang hendak mendaki Gunung Guntur atau sekedar kemping di Curug Citiis, yang terletak di belakang penginapan-penginapan ini.
3. Masjid Art Deco
Letaknya memang agak jauh, di Dusun Cipari, Desa Cimaragas, Kecamatan Pangatikan. Kira-kira 45 menit berkendara ke arah timur laut dari kota Garut. Tapi kalau menyukai bangunan-bangunan bersejarah peninggalan zaman Belanda, pastinya mesti ke sini.
Bangunan masjid berwarna krem ini bentuknya memang aneh, bangunannya kotak memanjang. Tembok bagian bawah disusun dari pondasi batu kali, sedangkan bagian atasnya campuran pasir dan batu kapur, yang konon direkatkan memakai putih telur. Di atas jendela-jendela masjid ini ada ventilasi, yang dihiasi dengan garis-garis membujur mengelilingi bangunan, yang menjadi ciri gaya art deco, sebuah aliran arsitektur yang populer di era 1920-1930-an. Lampu-lampu gantungnya mirip dengan yang ada di film-film Perang Dunia II. Di atas pintu utama menjulang menara masjid setinggi 17 meter yang berbentuk kubah segi delapan. Di atasnya lagi ada tiang setinggi 8 meter, dengan lambang bulan sabit dan bintang. Konon masjid bergaya art deco ini hanya ada dua di Indonesia. Yang pertama masjid ini, yang kedua Masjid Sumobito di Mojowarno, Mojokerto, Jawa Timur.
Masjid yang berdiri tahun 1935 ini didesain oleh Ir. Abikusno Tjokrosuyoso, teman Ir. Soekarno. Sejak dulu masjid ini memang menjadi tempat rapat-rapat organisasi Sarekat Islam. Tak heran masjidnya pun bernama Masjid As-Syura (tempat bermusyawarah), hanya saja masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai Masjid Cipari. Satu fakta unik yang lain, Kartosuwiryo, pemimpin pemberontakan DI/TII, dulunya termasuk salah seorang yang terlibat dalam pembangunan masjid ini.
4. Gunung Papandayan
Dari kota Garut ke selatan, kita akan sampai ke sebuah pertigaan. Yang ke kiri menuju Cikajang, ke kanan mengarah ke Gunung Papandayan. Meski puncak Gunung Papandayan ini cukup tinggi, 2.665 meter di atas permukaan laut, nggak usah jiper dulu. Nggak perlu naik sampai puncaknya, karena kawah-kawahnya yang keren tidak terletak di puncak, melainkan di pinggangnya, tak jauh dari tempat parkir kendaraan.
Kawah Mas, Kawah Manuk, Kawah Nangklak, dan Kawah Baru –yang terbentuk dari letusan tahun 2003 lalu– tak henti-hentinya menggelegak dan mengeluarkan asap berbau belerang. Kalau status gunungnya bukan ‘Awas!’ (artinya berbahaya), asyik banget lokasi ini untuk berfoto-foto.