Tampaknya kami mesti berjibaku untuk berebut spot memotret karena Puncak Becici ini ramai sekali oleh turis-turis domestik dan mancanegara. Keramaian sudah terasa sekali begitu sampai di pintu masuk hutan pinus dengan warung-warung makannya yang berderet menawarkan aneka menu. Kami mesti jalan kaki dengan agak menaik dulu selama 10 menit, antre dengan para pengunjung lain yang tampaknya ingin berfoto-foto di titik tertinggi dengan papan nama ‘Puncak Becici’ dan lembah luas pemandangan kota Jogja di belakangnya. Alhasil, sambil menunggu sunset, kami akhirnya lebih banyak memotret para pengunjung yang datang.
Ada tiga spot foto lain di dekat papan nama ini, dan saya justru mendapat foto sunset yang bagus di pohon menara pandang yang agak di bawah, pas ketika matahari sudah hampir tertutup awan.
After sunset atau blue hour-nya kali ini juga keren sekali dan lama, sehingga kami baru beranjak pulang setelah gemerlap lampu-lampu kota Jogja menyala sempurna dan angin dingin mulai bertiup. Itu saja masih banyak pengunjung yang baru naik ke tempat kami. Hebat sekali.
Kami menuntaskan hari dengan menjadi kustomer terakhir yang makan malam di Resto Ayam Kampung dan Thiwul Bu Sum. Tak lupa saya membeli Thiwul Keju dan Thiwul Cokelat (ada lagi Thiwul Gula Pasir dan Thiwul Gula Merah) yang fresh from the oven dan per boks hanya Rp 10.000, untuk camilan teman lembur nanti malam. Tapi akhirnya saya tidak sempat lembur apalagi icip-icip thiwulnya karena langsung pulas begitu sampai di homestay.
Kuda Terbang dan Kereta Kencana
Hari ketiga atau terakhir, lagi-lagi kami bangun sebelum subuh karena kali ini kami akan mengejar sunrise di Bukit Panguk. Lokasinya ternyata paling jauh dibanding spot-spot wisata yang lain, dan kami sampai di lokasi begitu langit sudah terang. Untungnya matahari belum muncul.
Segera kami menemukan kesimpulan: tipikal lokasinya sama dengan Jurang Tembelan, lengkap dengan beberapa platform untuk foto-foto. Bedanya, Bukit Panguk menghadap ke timur, jadi sangat cocok sebagai tempat berburu sunrise. Ditambah, tanahnya yang berhias pohon-pohon jati sudah ditata dengan batu-batu kapur sehingga makin cantik dan rapi. Beberapa anak muda rupanya berkemah semalam di sini dan mereka pun bersiap-siap untuk memotret sunrise – atau berswafoto dengan latar belakang sunrise.
cakep tulisannya. mengalir. enak dibaca
Alhamdulillah, terima kasih. Kalo nggak mengalir berarti mampet. Bahaya kalo lagi musim hujan.
Ngakak pol liat lukisan api nya MasTeg. Inget jaman sekolah hihihi. Jadoel
Dan ternyata aku lebih pintar ngelukis dibanding Kang Dudi, wakakakak!
Banyak banget ya yang bisa dieksplor dari Mangunan..aku kemaren cuma ke pasarnya aja. Bawa anak, ribut ngajak pulang..
Iya banyak sekali. Saya 3 hari 2 malam saja masih kurang. Tapi dari artikel ini kira-kira bisa disimpulkan mana yang diprioritaskan kalau jalan bareng keluarga (Rumah Hobbit udah pasti). Sebaiknya memang nginap ya di homestay yang ada di Mangunan supaya lebih santai jalan-jalannya.
Menarik dan informatif
Uhuyyy! Thanks Mas Hatta dah mampir.
Pasti selalu menarik… hal baru dan di pelajari dengan seksama oleh Mas Teguh… Indonesia selalu Indah jika di kemas dengan kreativitas.
Aamiin. Ditunggu juga posting jalan-jalan Mbak Fauziah.
Wah asik nih jalan2
Yang Seribu Batu dan Rumah Hobbit terutama asyik ya kalau bawa anak-anak. Yang lain ok juga sih secara mudah diakses dengan kendaraan.
Terakhir ke Kebun Mangunan dan Pinusan Asri sekitar 3 tahun yang lalu, belum sebagus ini spot-spotnya. Foto-fotonya keren MasTeg, bikin mupeng pengen traveling beberapa hari lagi kesana. Makasih yaa…
Kalau yang Kebun Buah Mangunan cenderung ‘plain’ ya. Menurutku lebih bagus Jurang Tembelan, Bukit Panguk, Puncak Becici, terus yang must-visit itu Seribu Batu dan Rumah Hobbit. Sama Lukis Api! Selamat menjelajah.