Ketika sebuah taman surga yang setiap sudutnya instagenik luput dari perhatian kaum milenial, apakah ini sebuah ironi atau justru keberuntungan?
Untuk ke sekian kalinya, saya duduk lagi di sini. Di sebuah bangku beton sederhana, di ujung timur sebuah kolam besar. Biasanya, air mancur di tengah kolam itu akan memancar dengan deras, memendarkan kabut air yang jatuh kembali ke kolam, dan sebagian terbawa angin. Namun mungkin ini masih terlalu pagi dan petugasnya belum datang untuk membuka keran saluran airnya.
Hangat sinar mentari terasa mengusap punggung, ditingkahi cericit tupai dan gemeresak daun dari pohon-pohon besar di belakang saya. Namun pikiran dan mata ini segera tersita oleh pemandangan di sebelah barat sana. Ujung kolam ini menyambung dengan sebuah lapangan berumput hijau segar yang agak menanjak, yang kemudian dipagari oleh deretan pohon Araucaria dengan cabang-cabangnya yang membentuk seperti kipas raksasa. Jauh di belakangnya, menyembul dengan gagah kerucut Gunung Pangrango yang membiru, dengan sepotong awan putih di atas puncaknya. Alur-alur dan bekas guguran lerengnya dapat terlihat dengan jelas dari tempat saya duduk, dan ini adalah pemandangan yang baru pertama saya lihat dari enam atau tujuh kali berkunjung ke Kebun Raya Cibodas dan duduk di bangku ini.
Tapi kebun raya ini tak hanya cantik di saat pagi cerah dan rumput menghijau. Berada di ketinggian antara 1.300-1.425 meter di atas pemukaan laut dan tepat di kaki Gunung Gede dan Pangrango, berharaplah bahwa cuaca cerah di taman ini dapat berubah cepat menjadi berkabut, mendung, dan hujan disertai angin dingin. Namun di saat mendung tebal pun, Gunung Pangrango di sana akan tetap menampilkan pesonanya, karena kini ia menjadi siluet ungu, dan seorang fotografer atau pelukis pasti tak akan melewatkan momen ini untuk mengabadikannya.
Di kunjungan tahun lalu, pertengahan Oktober, saya menemukan rumput lapangan besar di samping kolam ini meranggas akibat kemarau. Awalnya saya agak kecewa. Sudah datang ke sini agak kesiangan, eh rumputnya tidak hijau lagi. Namun begitu matahari meninggi dan bersinar benderang, rumput lapangan itu pun berubah menjadi kuning keemasan dan membuat anak-anak dan beberapa orang dewasa bergembira bermain bola.
Di kunjungan sebelumnya, entah di kunjungan kedua atau ketiga, saya duduk di bangku beton itu lagi. Tak berapa lama, sepasang anak muda datang membawa beberapa sepeda ke pinggir kolam. Yang saya tahu kemudian, mereka mau menyiapkan sebuah sesi pemotretan iklan dengan bintangnya anak-anak balita. Sambil menunggu kru lainnya datang, mereka lalu berfoto-foto sendiri, dan kesempatan itu tak saya lewatkan untuk membuat mereka menjadi ‘model’ di dalam foto saya. Saya mendapat beberapa frame foto yang bagus, dan segera pindah begitu tempat itu telah ramai oleh anak-anak.
Tapi secara umum, saya cukup heran dengan sepinya kebun raya seluas 87 hektar ini. Berbeda dengan saudara tuanya, Kebun Raya Bogor, yang banyak pengunjungnya bahkan di hari kerja – terlebih di akhir pekan. Jarak yang lebih jauh dan kemacetan rutin di jalur Puncak setiap akhir pekan mungkin menjadi alasan utamanya. Ditambah lagi, bus-bus mini yang biasa melayani rute Jakarta-Cianjur dan melewati Cibodas, kini rutenya dialihkan melalui Jonggol dan langsung menuju Cianjur, sehingga waktu tempuhnya lebih lama, sekitar tiga jam. Jadi, membawa mobil sendiri ataupun memakai transportasi umum sama-sama dilematisnya.
Dan uniknya lagi, orang-orang yang telah berhasil menjadi ‘survivor’ dari kemacetan lalulintas itu, mereka umumnya terbagi antara anak-anak sekolah yang akan kemping di Bumi Perkemahan Mandalawangi dan Mandala Kitri di depan kebun raya, dan anak-anak milenial yang akan mendaki Gunung Gede-Pangrango. Salah satu pintu masuk jalur pendakiannya memang dari Cibodas ini. Entah mereka tidak punya waktu atau tidak tahu tentang taman surga ini. Tapi sepanjang saya bolak-balik ke sini, pengunjung yang paling sering saya temui adalah anak-anak desa di sekitar kebun raya dan para wanita penyedia tikar sewa. Yang paling banyak malah keluarga-keluarga dari Timur Tengah. Mereka datang bersama anak-anak untuk piknik, atau yang muda bersama teman-teman sebayanya mengisap shisha di tepi kolam besar. Para traveler maupun instagramer yang datang untuk berfoto-foto, ataupun yang memakai jaket lab dan meneliti pohon-pohon (bukankah kebun raya ini laboratorium biologi yang sangat besar?) hampir-hampir tak pernah saya temui. Jadi, apakah ini sebuah ironi, atau justru keberuntungan bagi orang yang tahu tentang taman surga ini, waktulah yang akan menentukan.
Tapi, kalau saya saja tidak pernah bosan untuk kembali dan kembali lagi ke sini, berarti ada banyak hal unik yang menjadi magnet dari tempat ini dong. Dan inilah, menurut saya, beberapa hal yang menjadi daya tarik utama taman surga ini:
Sakura dan Lumut Liliput
Daya tarik utama Kebun Raya Cibodas tentu saja koleksi tanamannya, yang terdiri dari 1.014 jenis tumbuhan tinggi. Ini belum termasuk koleksi kaktus, anggrek, sukulen –tanaman berdaun tebal dan mengandung banyak air– dan koleksi yang lebih baru yakni tanaman lumut dan bunga sakura.
Keren mas, taman Cibodas yang sudah “umum” tetap bisa menjadi tulisan yang menarik 🙂
Ini travelingnya dengan penuh perasaan, wakakak!
CIBODAS ini padahal gak jauh dari rumah saya yang di Cipanas. Tapi baru sempat 2 kali main kesini. Padahal pengen banget menjelajah, main air, piknik gelar tikar sambil ngunyah pop-mie bakso sepuas mungkin. Dan eh bawak termos isi kopi sembari menikmati sejuknya udara di sekitar situ. Segera ah diwujudkan setelah pandemi berlalu.
Iya, paling enak piknik di lapangan besar dekat kolam itu. Gelar tiker, sambil ngopi dan baca buku. Kalo laper tinggal pesen mi goreng di kafe deket situ. Sayang sekarang ini yg menikmati malah keluarga-keluarga dari Timteng.