Angkor Wat biksu muda
Journey, Mancanegara

Pagi Tak Biasa di Angkor Wat

Sunrise over Angkor Wat

Ada yang lebih unik dari sekadar memotret sunrise. Sediakan waktu yang cukup dan kaki yang kuat kalau ingin menikmati setiap jengkal candi ini.

 

Tadinya saya mengira, Mr. Tong Hann sang pemandu wisata akan mengajak saya melihat sunrise dari depan Angkor Wat. Sebab petang sebelumnya dia meminta saya untuk sudah bersiap di hotel jam 5.30 pagi. Namun ketika kami naik remork, becak motor khas Kamboja­, ternyata kami berhenti di sisi timur Angkor Wat. Bukankah seharusnya dari sisi barat alias depan? Saya berpikir, dia pasti mengajak saya melihat sesuatu yang lain. Okelah, saya ikut saja. Lagipula pagi ini agak mendung, jadi mudah-mudahan memang sunrise-nya tidak bagus.

Setelah melewati pemeriksaan tiket oleh penjaga berpakaian abu-abu –hebat sekali mereka, sepagi ini sudah bekerja–  dan berjalan kaki menyusuri jalan tanah dengan kanan-kiri pepohonan tinggi yang rimbun, lamat-lamat kemudian saya mendengar seseorang berbicara memakai pengeras suara dari balik pagar bata yang membatasi pandangan saya.

Berdoa pagi di Angkor Wat, Siem Reap

Ritual doa pagi di belakang Angkor Wat. Ternyata bukan calon biksu atau biksuni.

Begitu kami memasuki halaman belakang Angkor Wat, dari arah belakang, tampaklah dua kelompok yang terdiri dari kaum laki-laki berbaju biksu warna oranye di sisi kanan,  dan kelompok wanita yang berbaju putih-putih di sisi kiri. Mereka sedang duduk bersila di rumput, mendengarkan penjelasan dari seorang biksu yang tampaknya paling senior meski usianya baru sekitar 40-an. Dia didampingi beberapa biksu lain yang masih muda-muda. Ada seorang biksu muda yang bertugas memotret-motret dengan kamera besar, yang menurut saya agak sedikit aneh karena bisa mengurangi kekhusyukan para peserta yang sedang mendengarkan penjelasan.

Biksu Angkor Wat

Seksi dokumentasi yang sibuk memotret.

Tidak ada turis asing di sini kecuali saya. Beberapa anak penduduk lokal tampak duduk-duduk di bagian dinding Angkor Wat yang posisinya agak tinggi, memperhatikan terutama bagian depan barisan, yang berisi anak-anak seusia mereka juga.

Tak Diajak Makan

Setelah mendengarkan ceramah dari biksu senior itu, para peserta yang masih duduk bersila kemudian memejamkan mata, bersemedi selama beberapa menit, dilanjutkan dengan melantunkan doa-doa dari selembar kertas yang mereka pegang. Pagi yang hening bertambah syahdu mendengar gumaman doa mereka.

Tadinya saya pikir mereka adalah calon-calon biksu yang sedang dalam masa pembelajaran. Ternyata bukan.  Sebab dalam masyarakat Kamboja yang sebagian besar menganut Buddha Theravada, tidak dikenal adanya biksuni  atau biksu wanita.

“Ada wanita yang menjadi nun (suster) tapi bukan biksuni,” tutur Tong.

Menurut Tong, mereka adalah penduduk lokal Siem Reap yang masih mempraktekkan tradisi era Angkor yang berasal dari abad ke-10 sampai 15 M. Lebih mengejutkan lagi, karena mereka ini umumnya adalah anak-anak dan orang-orang yang bekerja menjual suvenir di candi-candi yang banyak tersebar di kompleks Angkor Wat ini. Meski, kata Tong, saat mereka bekerja, mereka tidak terlihat seperti biksu atau nun seperti sekarang ini. Kegiatan ini dilakukan secara berkala dan ada yang ikut di sesi sore, tergantung waktu berjualan mereka. Karena aktivitas yang saya temui ini dilakukan Senin pagi, saya menduga ini semacam ritual doa sebelum  bekerja.

Turis Angkor Wat dan calon biksu yang berbaris

Turis yang datang belakangan hanya sempat memotret para calon ‘biksu’ yang berbaris hendak makan.

Standard