Di tangan dan kaki yang terampil, lempung sawah dari Desa Anjun itu bisa melanglang buana hingga Eropa.
Tanah liat seukuran tangkupan dua tangan itu sedikit demi sedikit mulai berubah bentuk, begitu Mang Encu memutar alat perebot dengan kedua kakinya. Tangan kanan lelaki kurus tinggi itu mengontrol ujung tanah liat yang berputar dengan secarik lap basah yang menyelip di sela jari-jarinya, sementara tangan kirinya menjaga agar lekuk luar tanah liat itu rapi dan seimbang.
Hanya dua menit, tanah liat alias lempung itu telah berubah menjadi sebuah mangkuk seukuran piring makan besar. Dengan seutas benang, Mang Encu memisahkan bagian dasar mangkuk yang masih menempel di perebot itu, lalu menaruh mangkuk itu di atas para-para untuk dianginkan-anginkan.
Sabtu pagi ini, pabrik gerabah milik Haji Eman Sulaeman di Desa Anjun, Plered, Purwakarta ini memang tidak begitu ramai. Hanya sepuluh dari 15 karyawan laki-lakinya yang bekerja. Masing-masing asyik dengan pekerjaannya, meski hanya ditemani segelas kopi dan sebungkus rokok, serta sebuah radio tua yang mendendangkan lagu-lagu dangdut dari sebuah stasiun radio lokal. Mereka duduk di atas jok berlapis plastik bekas wadah pupuk, beralaskan tanah, dikelilingi puluhan vas dan pot gerabah setengah jadi yang tengah dikeringkan. Tempat kerja mereka yang tanpa dinding itu mendapat penerangan dari cahaya matahari yang membias di tembok-tembok rumah di sekeliling pabrik.