Kalau Gedung Opera sudah terlalu mainstream, saatnya menguji nyali dengan mendaki Sydney Harbour Bridge.
Srekk, srekk, srekk, srekk!
Suara-suara gesekan selongsong pengait memasuki alur kawat baja terdengar bersahutan, begitu kami bersembilan orang memasuki area Sydney Harbour Bridge dari pintu kantor BridgeClimb Sydney, di kaki jembatan sisi selatan. Kini kami semua terikat dengan kawat baja itu, karena selongsong pengait itu menyambung dengan tali yang menyatu dengan ikat pinggang yang membelit badan kami masing-masing.
Terikatnya kami ini tentu untuk alasan yang bagus. Yakni, untuk berjaga-jaga kalau salah satu dari kami agak meleng dan terpeleset saat mengikuti tur mendaki jembatan yang menjadi ikon kota Sydney ini. Maklum, di bawah kami nanti pilihannya hanya tiga: jalan raya dengan mobil berseliweran, rangka-rangka jembatan, atau laut.
Ini baru bagian awal di pendakian jembatan yang menghubungkan sisi selatan dan utara Sydney ini. Sebelum memulai pendakian, tadi kami sudah menghabiskan banyak waktu untuk mengikuti briefing di kantor BridgeClimb Sydney yang mengelola atraksi ini. Mula-mula kami berlima digabung dulu dengan dua pasang turis Amerika. Kami saling mengenalkan diri –yang dengan cepat saya lupa nama-namanya– sembari mengisi formulir kesehatan dan dites alkohol.
Kami semua lolos tes, tapi satu teman saya, Vesta, terpaksa tidak bisa ikut mendaki, karena dia tengah berpuasa dan tidak mau membatalkan diri. Memang, sekarang tengah bulan Ramadan dan kebetulan saja kami berlima diajak Smailing Tour untuk ikut media trip ke Sydney. Kalau yang semalam clubbing dan masih hangover juga dipastikan nggak akan lolos tes. Untungnya saya nggak begituan. Jadi sekarang tinggal Ayu, Derry, Raymondo dan saya, plus empat turis Amerika tadi, yang sepasang di antaranya adalah kakek-nenek berusia 60-an.
Gembolan Parasut?
Terus-terang persiapan mendaki ini cukup lama. Kami mesti menyimpan semua barang-barang kami di loker. Tidak boleh ada kamera, ponsel, perhiasan, hingga uang receh. Semua mesti disimpan di loker dan kuncinya kita bawa dan kalungkan di leher. Oh ya, tidak boleh juga memakai sepatu high-heels. Kita mesti memakai sepatu kasual atau kets yang solnya kesat. Kami lalu memakai pakaian overall khusus warna biru abu-abu, plus celana panjang tambahan dari bahan parasut. Kami juga memakai topi, membawa saputangan, memasang headphone, dan mengenakan sabuk yang ada pengaitnya tadi. Semuanya disediakan BridgeClimb Sydney. Ternyata di sabuk yang mirip ikat pinggang Pak Satpam ini masih ditambah sebuah gembolan yang lumayan berat.
“Apa ini?” tanya saya kepada Mike, pemandu kami.“Itu parasut,” jelasnya. Wajahnya serius.
Hahahaha! Pasti dia bercanda. Emang parasut buat apaan?
Sepertinya sih ini jaket hujan, untuk jaga-jaga kalau cuaca di atas jembatan memburuk. Tapi kami tidak sempat cek juga karena Mike segera mengetes headphone –jadi nanti dia tidak akan membawa TOA– agar kami bisa mendengar apa yang dia jelaskan saat tur berlangsung.
Setelah persiapan selesai, kami pun mulai berjalan menuju bagian saat memasukkan kait tadi. Satu-persatu kami mengaitkan selongsong sabuk ke alur kawat baja di sisi jalur pendakian. “Mulai sekarang sampai akhir pendakian, kita akan selalu terikat dengan kawat baja ini, demi keselamatan kita,” tutur Mike. Hmm, sepertinya bakal ngeri nih…
Badan Lebar Susah Lewat
Mike memimpin kami paling depan, diikuti empat turis Amerika itu, lalu Ayu, Derry, saya, terakhir Raymondo. Beberapa rombongan turis lain sudah jalan duluan sebelum kami. Mula-mula kami berjalan di rangka jembatan bagian bawah, dengan jalan raya di atas kepala kami. Sementara, di bawah kami taman dan jalan beton. Di bagian yang masih datar ini saja aura berjalan di ketinggian sudah membuat saya deg-degan. Apalagi ditambah suara-suara mobil yang melintas di atas kepala. Hiih!