Turun dari Gunung Watangan ke savana Bromo
Indonesia, Journey

Kembali ke Lautan Pasir Atas

Ternyata masih banyak tanaman lain yang kami temui di sepanjang rute menuju Gunung Keduwung ini. Menurut Pak Mul, tanaman-tanaman itu banyak yang merupakan tanaman obat, dan sering digunakan masyarakat suku Tengger di sekitar Bromo untuk mengobati penyakit. Kami menemukan lagi tanaman putihan, yang daunnya putih pucat seperti kena bedak. Lalu tanaman menjari, yang digunakan oleh masyarakat Tengger untuk membuat boneka petra salira untuk upacara Kesada. “Wah, tanaman-tanaman ini saja bisa menjadi satu subjek penelitian tersendiri,” kata Purnawan. Jiwa penelitinya langsung terinspirasi.

Edelweis Jawa alias Senduro

Bunga Edelweis Jawa alias Senduro yang sudah mengering. Lihat boleh, ambil jangan.

Kami menjumpai lagi satu tanaman perdu setinggi satu meter, yang penuh dengan bunga-bunga berwarna putih kecil-kecil. Ini pasti… edelweis!

“Ini Edelweis Jawa (Anaphalis javanica – Pen.). Kami menyebutnya senduro,” terang Pak Mul. Senduro ini, menurut Pak Mul, akan kering dan rusak dalam waktu satu bulan. Saya melihat senduro yang baru mekar itu bunganya putih-putih kecil dengan lingkaran kuning di tengahnya. Sementara yang sudah tua akan mengering dan berwarna krem. Satu tangkai bunga senduro terdiri dari puluhan kuntum bunga kecil-kecil ini, dan cantik sekali kalau ditaruh di vas bunga. Tak heran kadang ada penduduk lokal Bromo yang menjualnya sebagai suvenir ke para wisatawan, meski ini sebenarnya tidak diperbolehkan karena tanaman ini sudah semakin langka.

Sumber Air dan Amfiteater

Segoro Wedi Anakan masih ada di sisi kanan kami. Begitu kami sampai di percabangan jalan setapak, Pak Puliono mengajak kami mengambil jalan yang ke kanan dan menurun. “Kalau ke kiri, kita akan menyusuri puncak Gunung Kursi,” katanya. Sepertinya Pak Pul –begitu biasa ia dipanggil– hafal semua rute di pegunungan ini. Maklumlah, pekerjaannya memang naik-turun gunung untuk mencari jamur. Dan itu dilakukannya sejak usia 17 tahun. Di usianya yang kini sudah 55 tahun, mendaki gunung baginya seperti jalan kaki di tanah datar saja. Dari tadi dia tidak minum air seteguk pun.

Kami menjumpai sebuah ceruk seperti sungai kecil yang berisi genangan air. Kami pun beristirahat dan membuka bekal. Menurut Pak Pul, ceruk ini satu-satunya tempat di kawasan atas Bromo yang tetap mengeluarkan air meski di musim kering. “Jadi, orang Tengger yang mencari tanaman obat, akan ke sini kalau mereka kehabisan air.”

Lautan Pasir Atas Gunung Bromo

Lautan Pasir Atas, Bromo yang mengepul, dan Gunung Batok yang samar. Seperti mau menonton bola di lapangan terbuka.

Dari sumber air ini, kami menuju ke selatan, dan sampailah kami di sebuah parit sepanjang sekitar 100 meter, yang nampaknya hasil galian manusia. “Mungkin dulu digali oleh orang yang mencari mineral logam atau untuk penelitian,” kata Pak Pul. Namun yang kemudian menyita perhatian kami adalah pemandangan dari dekat parit ini. Ternyata, di sebelah barat sana, kami kini bisa melihat keseluruhan Segoro Wedi Anakan dengan jelas. Lautan pasir itu diapit dua gunung di sisi utara dan selatan, sedangkan di sisi baratnya terlihat kawah Bromo mengepulkan asap putih, yang sebagian menutupi puncak Gunung Batok. Duduk-duduk di sini rasanya seperti tengah berada di sebuah amfiteater alam yang luas dan menakjubkan!

Watu Kripik Gunung Bromo

Watu Kripik, tanahnya berkerak-kerak akibat kondisi ekstrim.

Kami berjalan mengarah ke selatan lagi, menuju Gunung Watangan. Di depan kami kini berupa dataran luas bertanah pasir, dengan gerumbul-gerumbul tanaman pendek yang berbunga kecil-kecil merah. Tanah pasirnya seperti melepuh dan membentuk kerak-kerak. “Itu sebabnya disebut watu kripik (batu keripik),” kata Pak Pul.

Standard

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *