Beberapa puluh meter kami berjalan, tanah yang gundul kini berganti diselimuti tumbuhan ilalang setinggi betis. Pohon-pohon mlandingan, pohon tinggi sejenis pohon petai, terlihat kering di sekeliling kami. Mungkin mati akibat terkena gas belerang dari kawah. Namun jalan setapak yang kami lalui masih nyaman dilewati meski dengan bertelanjang kaki. Warna ilalang yang menguning, dan kabut putih yang turun di sisi kiri kami, memberikan nuansa warna yang indah. Jalur yang relatif mendatar membuat saya benar-benar menikmati pendakian ini. Berbeda dengan Purnawan, yang kini sibuk memotret-motret setelah menjumpai berbagai bunga gunung yang baru kali ini dia temui.

Ilalang, kabut, dan dingin menyatu di ketinggian ini.
Dari penjelasan Pak Mul, selain di sini banyak tanaman pakis, kami juga menjumpai banyak tanaman perdu. Misalnya kenterus yang berbunga ungu dan bisa dipakai sebagai obat. Lalu tanaman joyowono, lalu metigi (atau cantigi) yang buahnya kecil-kecil seperti cherry dan memerah serta bisa dimakan kalau sudah tua. Ada lagi tanaman poroan yang bunganya kecil-kecil berwarna pink dan putih. Batang tanaman poroan ini ternyata bisa dimakan. Pak Mul memotek satu batang kecil dan memberikannya ke saya. Hmm, rasanya renyah dan asam!

Bunga Kenterus, si cantik biru.

Cantigi, buahnya bisa dimakan kalau kelaparan saat pendakian.