Bagi penyuka treking maupun berburu foto cantik, ‘Jalan Belanda’ dan sisi barat Bromo menanti untuk dijelajahi. Jangankan turis, petualang pun jarang yang ke sini.
Tulang pipi saya mendadak terasa membeku, dan saya mesti merapatkan lagi penutup kepala dan syal yang telah bergeser akibat terpaan angin dini hari dan juga guncangan motor yang disetiri Mas Suwik. Kami tengah melaju di jalan tanah berdebu. Seluruh badan saya tertutup rapat, hanya segaris mata saja yang tersisa untuk mencoba mengamati apa yang ada di sekeliling.
Namun yang saya temui hanya gelap pekat dinding bukit di sisi kiri, dan rerimbunan pohon yang memagari jalan yang hanya cukup untuk satu sepeda motor ini dari jurang yang dalam di sisi kanan. Satu-satunya hiburan pemandangan hanyalah jalur jalan setapak di depan yang tersorot lampu sepeda motor, dengan debu-debunya yang sepertinya sudah beterbangan lebih dulu sebelum roda motor kami sampai. Tonggeret dan serangga-serangga malam lainnya masih ramai bernyanyi, seperti tak terusik oleh deru motor kami.
Saya, yang membonceng Mas Suwik, tak bisa membayangkan tiga motor lain di belakang kami yang berjalan berurutan. Mereka pasti ‘makan debu’ yang ditimbulkan oleh motor kami. Sekarang memang bulan Juli, dan musim kemarau sepertinya hampir tiba di puncaknya. Tapi sepertinya bagi mereka hal itu sudah biasa karena saya dengar mereka bermotor sambil bercakap-cakap.
Kami dalam perjalanan dari Desa Ngadas menuju Pertigaan Samad. Dari pertigaan itu nanti kami akan melanjutkan dengan treking berjalan kaki, menyusuri pinggiran tebing patahan bukit di sisi barat Bromo. Yang akan treking empat orang, yakni saya, teman saya Donny yang berasal dari Malang, serta Pak Mul dan Pak Kliwon. Keduanya warga desa Ngadas yang akan menjadi pemandu kami. Pak Mul membonceng anak sulungnya, Danton, Pak Kliwon membonceng Mas No, sedangkan Donny membonceng Mas Mur. Sejak pukul 3 dini hari tadi mereka sudah berkumpul di dapur rumah Pak Mul untuk menghangatkan diri dan minum kopi. Begitu jam menunjuk pukul 4 tepat, kami pun bergerak.
Jalan tanah yang kami susuri ini oleh masyarakat Tengger yang mendiami kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS) disebut sebagai ‘Jalan Belanda’. Jalan tanah ini relatif datar karena memotong pinggang gunung, dan menjadi penghubung masyarakat desa-desa di kawasan ini. Yakni Desa Mororejo yang ada di punggung Gunung Mungal (2.480 mdpl) di sisi barat Gunung Bromo, dengan desa-desa di punggung Gunung Ider-ider (2.527 mdpl) seperti Desa Ngadas dan Desa Ranupani, di sisi selatan Gunung Bromo. Kalau harus melalui rute Mororejo ke Penanjakan lalu turun ke Lautan Pasir akan lebih lama karena mereka harus memutar jauh.
Disebut Jalan Belanda karena dulu pemerintah kolonial Belanda bermaksud membuat perkebunan teh di daerah ini. Sama polanya seperti perkebunan teh di daerah Puncak, Jawa Barat, dengan jalan-jalan datar di dalamnya untuk memudahkan pengangkutan teh. Cuma saat itu sudah keburu terjadi Perang Dunia II, sehingga proyek itu tak terwujud. Jalur-jalur jalan tanah di ketinggian sekitar 2.300 mdpl yang sudah jadi itu pun terbengkalai, dan hanya penduduk lokal Tengger yang memanfaatkan jalur sepi ini untuk jalan pintas. Tahun lalu saya pernah membonceng Pak Mul menyusuri jalan ini hingga ke Mororejo dan Wonokitri, dan memang, saat siang hari pun kami hanya berpapasan dengan dua pengendara sepeda motor lokal yang melintas. Tak ada para pesepeda ataupun klub motor trail yang lewat, apalagi rombongan turis. Sisanya hanya ada kabut, desau angin dingin, dan Gunung Batok serta asap kawah Bromo yang mengepul di kejauhan.