Sepasang wisatawan yang datang dengan dituntun naik kuda dan hendak naik tangga Bromo, tampak khawatir dengan mendung tebal dan kabut bercampur asap, dan akhirnya memutar balik langkah kuda mereka. Kami mengikuti mereka dari belakang, karena sama-sama hendak menuju tempat parkir jip. Pura Poten yang ada di lautan pasir di depan kami tampak hanya bayang-bayang kelabu saja, tertutup mendung dan badai debu.
Tersesat di Gunung Widodaren
“Sekarang kita ke mana?” tanya saya, setelah kami berhasil mencapai jip. Mendung dan asap membuat suasana seperti menjelang senja. Namun ketika saya melihat jam, ternyata baru sekitar pukul 12 siang.
“Kita ke Gua Widodaren dulu, terus nanti pulangnya ke Watu Kutho,” saran Pak Mul. Gua Widodaren terletak di Gunung Widodaren (2.600 mdpl), masih di kawasan lautan pasir ini, tapi di sisi barat. Di gunung ini konon terdapat gua yang mempunyai sumber air, dan menurut Pak Mul, orang-orang dari berbagai daerah sering datang mengambil airnya untuk ritual sembahyang. Sedangkan Watu Kutho adalah reruntuhan kota yang dibangun dari batu-batu lava, dan terletak dekat kaki Gunung Jantur.
Jip kembali menembus kabut, melalui jalan pasir yang di beberapa bagian tergenang air. Gerimis kembali datang dan Pak Mul pun melajukan jipnya pelan-pelan. Lautan pasir Bromo ini merupakan lembah yang sangat luas, terlebih di sisi barat Bromo. Ditambah lagi, jalur-jalur jalan yang bekas dilewati kendaraan roda empat di sini cukup banyak. Di cuaca berkabut, orang bisa saja salah arah. Apalagi, tentu saja, tidak ada penunjuk arah di sini.

Ke sini, atau ke sana? Bahkan pemandu paling andal pun bisa tersesat oleh kabut.
Pak Mul berhenti ketika kami sampai di sebuah percabangan jalan, ragu-ragu hendak memilih jalan yang mana. Dia pun meminta Pak Pul turun untuk mencari tanda-tanda arah ke Gunung Widodaren. Pak Pul berlari ke satu arah, tengak-tengok, lalu berlari ke arah lain. Kami semua memperhatikannya dari dalam jip. Dia kemudian datang. “Yang ke arah sana!” tunjuknya ke kanan. Jip pun bergerak ke arah yang Pak Pul sarankan.
Tapi, baru sekitar 50 meter, kami sampai lagi di percabangan jalan dengan banyak pilihan. Pak Pul kembali turun, dan mengecek arah dari beberapa titik. Dia kembali dengan laporan pandangan matanya.
“Kita maju lagi saja. Sepertinya ke arah yang lurus,” nadanya terdengar seperti kurang yakin. Tapi lagi-lagi kami seperti berputar-putar saja di satu area, tidak ketemu juga dinding gunung yang bisa menjadi penanda. Dalam hati saya heran campur bingung. Pak Pul ini sudah puluhan tahun menjelajahi setiap sudut Bromo untuk mencari jamur, dan bisa dibilang dia pemandu terbaik yang bisa kami sewa untuk perjalanan ini. Tapi ternyata dia juga bingung dan salah-salah dalam menentukan arah. Bagaimana kalau orang yang tidak berpengalaman terjebak dalam kabut seperti ini?
Kami akhirnya menunggu sampai kabut agak mereda. Begitu bayangan dinding-dinding gunung mulai terlihat, Pak Pul pun memberitahu ke arah mana Pak Mul mesti membawa jipnya.

Mendaki gunung lagi? Ah, tidak. Biar Arif dan Pak Puliono saja yang melakukannya.
Jalur pendakian ke Gua Widodaren ternyata mesti masuk ke sebuah ceruk di lembah yang diapit dua bukit yang tinggi. Lebar celahnya paling sekitar 10 meter dan digenangi aliran air dari sungai kecil yang sepertinya bersumber dari gua. Sebuah gapura dan tempat sesajian menjadi penanda jalur pendakian.
Saya mengira gua itu ada di belakang gapura itu. Ternyata, kata Pak Pul, kami harus mendaki dulu. “Yaaa, nggak tinggi. Kira-kira jaraknya sama seperti dari bawah tangga Bromo ke pertigaan Lautan Pasir Atas,” terang Pak Pul dengan kalem.
Astaga, Pak, kami mesti mendaki sampai setinggi itu lagi? Di cuaca seperti begini? Melihat jalur mendakinya yang langsung menanjak di belakang gapura saja, lutut saya langsung gemetaran. “Nggak deh, saya tunggu di mobil saja.”
Akhirnya Arif dan Pak Pul yang mendaki ke gua, sementara saya, Pur, dan Pak Mul menunggu di dalam jip. Gerimis dan kabut masih datang dan pergi. Tak lama, dua orang lelaki datang dengan jip, sambil membawa jeriken. Ternyata mereka mau ke gua juga.
Sekitar satu jam kami menunggu. Dua lelaki yang tadi membawa jeriken sudah kembali. Sepertinya mereka tadi membawa kantong plastik kresek juga, karena mereka kini membawa dua kantong plastik yang ternyata berisi pasir. “Selain air, orang-orang juga mengambil pasir gua untuk ngalap berkah,” jelas Pak Mul.
Arif dan Pak Pul tak lama kemudian muncul. “Untung kamu nggak ikut,” Arif terlihat capek sekali. “nanjaknya lebih curam dibanding yang tadi.” Meski cuma bisa mendengar cerita dari Arif tentang keadaan di dalam gua, tidak apa-apalah, daripada saya pingsan kecapekan di atas sana.

Ternyata tak hanya kami yang tersesat di jalur tanpa penunjuk arah ini.
Cuaca masih mendung namun kabut sudah menipis, jadi jip kami bisa lancar melewati jalan-jalan pasir. Kami sempat bertemu dengan sebuah mobil yang sepertinya tersesat juga. Pak Mul memberi petunjuk ke arah mana mereka mesti menuju. Hmmm, mudah-mudahan saja mereka bisa selamat.
Kota Batu dan Sumur Vulkanik
Gerumbul-gerumbul tanaman adas yang berbunga kuning cerah sesekali kami temui di sepanjang jalan. Kini kami tinggal mampir ke Watu Kutho sebelum pulang ke Ngadas. Saya tidak tahu di mana letak persisnya karena sekarang saya disorientasi. Sepertinya kami sedang mengarah ke barat. Tapi begitu jip berhenti di depan batu-batu hitam besar yang berserakan, saya baru ngeh kalau kami sedang menghadap ke timur, karena kini di depan kami agak jauh di sana berdiri dinding vertikal Gunung Jantur yang berlapis-lapis, yang berada di sisi timur kawasan Bromo.

Watu Kutho, seperti kota batu yang porak-poranda.
Batu-batu lava yang besar-besar berserakan di mana-mana, membentuk seperti benteng kota yang hancur, mirip reruntuhan candi kalau kita berkunjung ke Kraton Ratu Boko di selatan Prambanan. Tapi bukan ini saja yang ingin kami lihat. Pak Pul membawa kami berjalan lebih jauh menuju ke arah dinding Gunung Jantur, karena menurutnya di sana ada banyak sumur vulkanik. “Sekurangnya ada delapan sumur.”