Kami berjalan lagi pelan-pelan menyusuri bibir kawah, dan kali ini napas mulai memburu karena jalurnya menaik ke sebuah bukit kecil, sementara asap belerang masih saja mengganggu. Gerimis sesekali datang terbawa angin dan kabut. Lagi, kami mesti berteriak sahut-sahutan ketika saling terpisahkan oleh kabut tebal. Di antara kengerian, saya sempat berpikir, betapa hebatnya Tuhan menciptakan kaldera Tengger ini. Mungkin kalau cuaca cerah, pemandangan dari atas ini akan jauh lebih cantik. Namun dalam kondisi berkabut pun, jalur yang nampak seperti putus dan kawah serta jurang yang berselimut warna keperakan pun memberi pemandangan yang menakjubkan. ”Rasanya seperti berjalan di atas Tembok China,” kata Arif.

Purnawan dan Pak Mul seperti zombie yang muncul dari balik kabut.
Kami tertolong arah angin. Bau asap belerang tiba-tiba menghilang, dan kabut tebal yang menutupi jalan pun menghilang. Di kanan bawah kami terpampang kawah Bromo yang luas, dengan lubang yang terus-menerus mengeluarkan asap putih.
Kami berjalan mendaki lagi dan mesti sering berhenti untuk minum dan mengatur nafas. Pur, sambil memegangi lutut, mengeluh, “Masih berapa jauh lagi?” Pak Pul, yang dari tadi tidak sekalipun minum, cuma tersenyum ringan. “Dekat, tinggal satu bukit kecil lagi.”

Di antara kengerian, sempatkan untuk mengabadikan kenangan.
Yang dimaksud ‘dekat’ ternyata ‘jauh’ bagi kami. Dan puncak bukit terakhir ini tampaknya yang paling tinggi. Kami tercecer, dan Pur berada di urutan terakhir. Pak Pul tampak santai duduk berjongkok di puncak, mengawasi kami yang naik satu per satu.
“Ayo, ini titik aman terakhir!” teriak Pak Pul dari atas.
“Setelah ini?” tanya Arif.
“Nggak aman lagi. Hahaha!”
Kami semua akhirnya bisa berkumpul di puncak teratas (2.354 mdpl), yang merupakan sebuah simpang tiga. Dari sini, ada jalan ke kiri yang agak menaik, dan ada jalan ke kanan yang menurun tajam. Gerimis mulai datang dan kami segera memakai jas hujan. Tapi, di mana Segara Wedi Anakannya?
“Itu, di bawah kita,” tunjuk Pak Pul ke lembah luas di kanan bawah kami, yang semuanya kelabu tertutup kabut tebal, sehingga saya sama sekali tidak bisa melihat satu titik pasir pun. “Kita tinggal turun ke kanan sana kira-kira satu kilometer lagi.”
Saya terhenyak. Turunnya mungkin bisa, tapi naiknya? Apalagi dalam kondisi hujan dan berkabut seperti ini. Apakah nanti kami benar-benar bisa melihat lautan pasirnya? Atau jangan-jangan itu danau yang seluruhnya berisi air? Hujan dan angin makin keras, dan butir-butir airnya seperti tajam menusuk-nusuk wajah. Kami pun akhirnya memutuskan untuk sampai di sini saja. “Setidaknya kita sudah tahu jalan ke Lautan Pasir Atas,” Pur menghibur saya.

Tertatih menuju pertigaan puncak tertinggi Gunung Bromo.
Kami pun dengan hati-hati turun untuk kembali ke anak tangga Bromo. Air hujan mengguyur seperti menampar-nampar punggung kami, dan baru berhenti sekitar 30 menit kemudian, menjelang kami sampai di ujung atas anak tangga. Namun mendung tebal dan asap putih kembali menyelimuti kawasan ini ketika kami sampai di bawah anak tangga, yang biasanya menjadi tempat parkir kuda-kuda. Sekarang ini tak ada satu kuda pun.

Lautan Pasir Atas di bawah sana yang seluruhnya tertutup kabut kelabu.