Setiap hari ribuan orang melewatinya. Tapi, siapa yang peduli?
Monumen Nasional, atau Monas, mungkin sebuah ironi. Terletak di sebuah taman megah dan rimbun seluas 90 hektar tepat di jantung Jakarta, dan tiap hari dilewati ribuan orang, tapi coba tanya, siapa di antara mereka yang pernah berkunjung dan naik ke puncaknya? Apalagi jika ditanya dari mana orang bisa masuk dan naik ke Monas. Pasti yang tahu akan sama sedikitnya.
Yang sering berkunjung ke Monas dan ‘menyelamatkannya’ mungkin hanya anak-anak sekolah yang tengah mendapat tugas pelajaran IPS, atau anak-anak sekolah dari luar kota yang darmawisata. Dan tentu saja, para pedagang asongan, yang sering kucing-kucingan dengan satpam Monas, tak peduli pagi, siang, atau malam.
Dimulai pembangunannya 17 Agustus 1961 atas perintah Presiden Soekarno, Monas selesai dibangun tahun 1967, namun baru dibuka untuk publik tahun 1975. Bangunan setinggi 132 meter ini mempunyai puncak berbentuk nyala api yang terbuat dari 14,5 ton perunggu berlapis 50 kilogram emas. Desain Monas melambangkan lingga dan yoni, perpaduan elemen maskulin dan feminin dalam konsep Hindu-Jawa. Meski, kadang sering ‘dihaluskan’ sebagai lambang lesung dan alu. Dengan tiket masuk Rp 20.000, kita bisa masuk ke bagian yoni ini dan juga naik melalui satu-satunya lift hingga ke menara pandang di puncak, sedikit di bawah api emas.
Di bagian yoni terdapat Ruang Kemerdekaan yang merupakan amfiteater. Di sini kita bisa mendengarkan rekaman suara Ir. Soekarno sewaktu membacakan teks proklamasi. Ruangan bawahnya adalah Museum Sejarah Nasional, tempat yang sejuk dan luas, yang keempat sisinya berisi diorama perjalanan bangsa Indonesia, dan juga beberapa panel yang memamerkan proses pembangunan Monas.
Bagian puncaknya menawarkan pandangan ke empat penjuru mata angin Jakarta, dilengkapi 4 teropong pandang di setiap sudut. Jika cuaca cerah, di sebelah utara kita bisa melihat Laut Jawa, di sebelah selatan bisa melihat Gunung Salak. Sayangnya, menara pandang ini dipagari oleh jeruji-jeruji baja, sehingga menyulitkan bagi yang ingin memotret. Apalagi bila postur anda kecil. Dari menara pandang ini ironisnya kita juga tidak bisa melihat emas yang tepat berada di atas kepala kita, karena satu-satunya pintu menuju api emas itu terkunci, dan hanya dibuka saat petugas membersihkan api emas, yang kita tak tahu kapan jadwalnya.
Meski agak jauh dari sempurna, begitu turun dari puncak dan menjelajahi taman Monas yang luas, mungkin anda akan mendapat ide bahwa ini adalah tempat yang sempurna untuk jogging, membawa keluarga jalan-jalan di sore hari, atau untuk tempat berfoto-foto. [T]