Taste

Sesal dalam Sepiring Nasi Lengko

Dua kali berkunjung ke tempat yang sama, dua kali pula pipi saya basah oleh air mata.

 

Saya tidak sedang bersimpuh di depan sebuah pusara, atau berada di sebuah bangsal rumah sakit di mana para pasiennya tengah berbaring lemah menunggu ‘dijemput’. Saya justru tengah berada di sebuah warung nasi lengko. Tepatnya, di Warung Nasi Lengko Pak B di Jalan Pagongan, Cirebon. Oleh para traveler dan orang-orang yang suka berburu makanan enak, nasi lengko ini dianggap yang paling lezat di kota ini. Karena alasan itu pula saya ingin membuktikannya dengan datang ke sini.

Saya duduk di sebuah bangku panjang, di warung yang juga memanjang ke belakang. Selain nasi lengko, warung ini juga menyajikan sate kambing. Saya memesan 10 tusuk.

Begitu nasi lengko pesanan saya datang, saya pun mencicipinya. Namun, setelah dua sendok, saya bisa mengambil kesimpulan: nasi lengko ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nasi lengko buatan ibu saya. Kecap nasi lengko ini terlalu encer dan hambar karena kurang bumbu. Tempe dan tahunya juga tawar, kurang gurih dan renyah. Orang-orang yang bilang bahwa nasi lengko ini enak, pastilah bukan food reviewer yang baik. Mereka tidak bisa membedakan mana nasi lengko yang enak dan yang tidak. Nasi lengko ini sama sekali tidak enak, tidak seperti nasi lengko buatan ibu saya.

Ibu saya, kalau membuat nasi lengko, rasanya seperti tengah membuat masakan paling istimewa sedunia. Terutama kalau saya yang memintanya. Terlebih, setelah saya kuliah di Semarang, dan hanya pulang ke rumah di Brebes sekali dalam enam bulan. Makanya begitu saya pulang, sebelum saya meminta, ibu sudah lebih dulu bertanya, “Mau dimasakkan apa hari ini, Lis? Nasi lengko, kan?” (Di rumah, keluarga memanggil saya Ulis, bukan Teguh. Saya tidak tahu bagaimana awalnya mengapa bisa dipanggil begitu).

Ibu tahu saya tak akan menolak tawarannya. Maka beliau pun pergi ke pasar, membeli tauge kacang hijau, mentimun, tempe, tahu kuning, kecap manis, daun salam, bawang merah, bawang putih, dan bumbu-bumbu lainnya. Sebagai orang Brebes asli, ibu tahu pasti bagaimana cara membuat nasi lengko yang enak, karena nasi ini merupakan makanan khas daerah ini, dan juga dua daerah di dekatnya, Tegal dan Cirebon.

Saya biasanya kemudian menjumpai ibu lagi di dapur, ketika beliau tengah mengulek bumbu-bumbu. Tauge kacang hijau sudah direbus setengah matang, dan kini tengah ditiriskan dalam irig (saringan dari anyaman bambu). Mentimun sudah dipotong dadu kecil-kecil seukuran satu sentimeter. Tempe sudah dipotong-potong kecil panjang, lebih lebar sedikit dari ukuran korek api. Tahu sudah dipotong-potong kubus seukuran satu sentimeter. Keduanya sudah digoreng hingga kering dan renyah.

Tinggal yang terakhir, menggangsa (menumis) kecap manis dengan bumbu-bumbu. Dua sendok makan minyak goreng dipanaskan dalam wajan, lalu ditambahkan bawang merah rajangan, digoreng hingga keluar harumnya, kemudian ditambahkan bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan. Saya tidak tahu bumbu apa saja yang digunakan, namun kemungkinan mengandung kemiri, ketumbar, bawang putih, garam, sedikit gula, dan daun salam. Yang terakhir ini dibiarkan utuh, tidak ikut digerus.

Begitu bumbu sudah harum, barulah dituangkan kecap manis. Ibu saya hanya menambahkan sedikit air saja, sekadar kecapnya tidak lengket di wajan. Setelah diaduk-aduk dan mendidih, api pun dimatikan. Nasi putih panas disiapkan di piring, kemudian ditaburi tauge, lalu mentimun, lalu tempe dan tahu, dan terakhir, disiram kecap kental tadi. Selesai.

Ibu saya tidak menambahkan rajangan daun bawang dan seledri seperti nasi lengko Pak B. Tapi saya yang memakannya, tidak perlu tambahan apapun untuk menghabiskan sajian istimewa ini. Nasi di piring segera tandas, lalu diam-diam saya menambah lagi, sementara ibu saya mencuci peralatan masak di pekiwan (tempat mencuci) di dekat sumur.

Masalahnya hanya satu: ibu saya sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Kelezatan nasi lengko yang dibuatnya, ikut hilang bersama kepergiannya, karena saya tidak pernah meminta beliau untuk menuliskan resepnya, apalagi belajar memasak. Saya terlalu sibuk dengan keluarga, dengan pekerjaan, dengan traveling, sampai-sampai saya jarang pulang ke rumah untuk menengok ibu yang mulai sakit-sakitan. Saya baru pulang ketika diberitahu kakak bahwa beliau sudah tiada.

Dan kini, di depan sepiring nasi lengko yang tidak enak, tiba-tiba saja penyesalan saya datang menyeruak. Bayangan wajah ibu saya dan kenangan bersamanya, tergambar lagi di hadapan saya. Wajahnya yang teduh dan dahinya yang berhias kerutan-kerutan, menggambarkan kebahagiaan, kesedihan, dan penderitaan yang bercampur-aduk jadi satu. Tenggorokan saya terasa tercekat, dada menyesak, dan tanpa terasa air mata merembes pelan-pelan dari sudut mata. Saya berusaha keras agar tidak sesenggukan di warung nasi lengko ini.

Duh, Ibu, andai saja engkau masih hidup, tentu anakmu ini masih bisa menikmati lagi nasi lengkomu yang jauh lebih lezat itu. Ibu, maafkanlah putramu ini, yang baru bisa menyadari arti kasih sayangmu, di sini, di depan sepiring nasi lengko yang tidak enak…. [T]

Catatan:

Beberapa bulan kemudian, saat saya ke Cirebon lagi bersama seorang teman, dia meminta saya untuk mengantar ke warung nasi lengko itu, yang dengan sangat terpaksa saya turuti. Saya makan lagi nasi lengko itu, dan kejadian yang sama terulang kembali. Sejak itu saya berjanji, saya tidak akan pernah kembali ke warung itu lagi…. 

Standard

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *