Ternyata kami bertiga bangun kesiangan, dan baru benar-benar melangkah keluar dari resort pukul 9.30 pagi. Padahal kami disarankan berangkat pagi pukul 7 agar bisa memperoleh pemandangan yang bagus.
Udara cukup cerah, meski gas yang keluar dari kawah Lokon di kejauhan sana menyelimuti bagian puncak gunung. Kawah Lokon memang tidak terletak di puncak, melainkan di bagian pinggang gunung sebelah barat, yang tidak terlihat dari resort ini. Menurut Franky, kami hanya akan mendaki sampai kawahnya saja.
“Kalau dengan kecepatan seperti kemarin, dari sini perlu waktu 2 jam,” tuturnya. Kami tidak akan ke puncak, karena jalur pendakian ke sana sudah tertutup oleh tanaman dan rumput tebal. “Sudah lama tak ada orang yang mendaki ke puncak, karena tak tahan kena gas yang keluar dari kawah di bawahnya.”
Kami menyusuri jalan aspal ke barat, dan begitu sampai di sebuah perempatan, Franky mengambil jalan ke kanan. Saat itulah Stephen tertawa. “Kemarin pagi saya mengambil jalan yang lurus. Pantas, saya tersesat. Ternyata, baru 100 meter saja saya sudah salah jalan!”
Hampir saja saya tertawa terpingkal-pingkal! Rasain, kata saya dalam hati. Itulah akibatnya kalau mendaki gunung tanpa didampingi pemandu. Namun ternyata ini bukan pengalaman pertama buat Stephen. Ia mengaku pernah empat kali mendaki gunung yang sama di Mamasa, Sulawesi Barat, namun selalu tersesat. Sampai akhirnya dia menyewa pemandu lokal dan baru kemudian bisa sampai ke puncak!
Kami melewati sebuah pemakaman umum, dan kelihatan kalau makam-makam di sini habis diziarahi, karena kami melihat ada bunga-bunga, makanan, bahkan botol-botol softdrink pada tiap nisan. Kami lalu sampai ke sebuah tempat penambangan batu di pinggir sungai yang tak berair, dan ternyata inilah jalur pendakiannya: kami akan menyusuri sungai ini sampai ke hulu, yang berakhir di dekat kawah Lokon.

Pendakian menjadi lebih mudah karena lava bekunya terasa kesat di kaki.
Dasar sungai yang berpasir ternyata hanya kami jumpai beberapa meter saja, karena kemudian kami mulai menapaki dasar sungai yang seluruhnya tertutup oleh batu lava beku. Jadi, tampaknya dulu waktu Lokon meletus, lavanya mengalir ke sungai ini, hingga sampai dekat penambangan batu tadi. Lava yang berhenti mengalir kemudian membeku dan menutupi seluruh permukaan sungai, membentuk ‘lantai’ yang tidak rata. Hujan yang masih sporadis terjadi di sini membuat permukaan batu yang cekung berubah menjadi ceruk-ceruk air, yang cukup membantu bagi pendaki yang kehabisan air, ataupun membantu membuang pasir yang menempel di telapak sepatu.
Karena hujan yang masih sporadis pula, lantai batu ini masih kesat ditapaki. Justru yang bisa membuat kita terpeleset adalah pasir yang menempel di sepatu. Ini bisa diatasi dengan mencelupkan sepatu ke ceruk air. Saat musim hujan tiba, barulah lantai batu ini menjadi licin dan pendakian ke kawah Lokon menjadi lebih lama.
Mula-mula sungai mengarah ke selatan, dan yang saya lihat hanya ilalang tinggi dan pohon-pohon seperti lamtoro di kanan-kiri sungai. Jalur pendakian relatif mudah, hanya kadang perlu merangkak pada bagian lantai batu yang agak curam atau licin. Menurut Franky, lantai yang paling curam malah yang pertama kali kami daki tadi, dan sesudah itu medannya lebih ringan. Dan memang benar.
Kami beristirahat begitu sungai membelok ke barat, dan di sini kami bisa melihat rumah-rumah dan gereja yang ada di Tomohon. Setelah ini, beberapa puluh meter ke depan, dasar sungai berubah menjadi pasir, dengan bongkahan-bongkahan batu berwarna hitam dan oranye berserakan di mana-mana.
Batu-batu ini sama sekali berbeda dengan yang menjadi lantai sungai tadi. Franky lalu menunjuk ke dinding sungai, yang ternyata terdiri dari beberapa lapis, mungkin tiap lapisan berkaitan dengan waktu Gunung Lokon meletus. Gunung ini termasuk yang paling aktif di Sulawesi Utara, dan pernah meletus tahun 1991, 2001, 2002, dan 2003. Letusan tahun 1991 merupakan yang terbesar, dan memaksa 8.800 penduduk Tomohon mengungsi. Letusan ini juga memakan korban seorang ahli gunung asal Swiss, yang memaksa memotret dari puncak gunung ketika tiba-tiba gunung meletus.