Franky mengajak kami mencari tempat pandang yang lebih lapang, dengan masuk ke hutan ilalang di sisi kanan kami. Ternyata, baru di sinilah tantangan sebenarnya mendaki Mahawu. Hutan ilalang ini sangat rapat, dengan tinggi mencapai 3 meter. Rasanya sama seperti masuk ke kebun tebu, dengan daun-daunnya yang panjang dan bersisi tajam menggores-gores muka dan tangan!
Keadaan yang gelap karena rapatnya hutan, ditambah memang sudah senja, membuat kami mesti hati-hati, karena kami berjalan di jalur treking yang di sisi kiri merupakan bibir kawah yang tersamar oleh tebalnya ilalang. Beberapa kali saya berteriak memanggil Franky yang seperti menghilang di depan. Stephen, yang ada di belakang saya, beberapa kali terantuk batu.
Menembus hutan alang-alang ini terasa seperti perjalanan tanpa akhir, karena ternyata lebih lama dibanding pendakiannya sendiri. Hingga akhirnya… tiba-tiba kami terlepas dari hutan, dan sampai di gundukan tanah lapang yang ternyata menjadi titik tertinggi di Mahawu. Di sini kami melihat tiang bendera dari bambu, serta antena dan peralatan seismometer di bawahnya, hasil kerjasama Dinas Vulkanologi dengan United States Geological Survey.
Di depan kami tampak kawah Mahawu yang semakin gelap. Tampaknya saat ini gunung tengah tenang, karena tak terlihat asap mengepul dari dasar kawahnya yang kering dan putih kekuningan. Menurut catatan, Mahawu terakhir meletus tahun 1789, dan pada 1994 lalu danau kawahnya sempat menyemburkan lumpur, air, dan gas belerang.
Jauh di belakang sana, sebagian tertutup awan, adalah Gunung Manado Tua yang ada di tengah laut, di gugusan Taman Laut Bunaken. Di sisi kanan kami Gunung Klabat makin menghitam, begitu juga Gunung Duasudara di belakangnya. Lampu-lampu di kota Bitung tampak terang di sisi selatan gunung ini. Di belakang kami, di lembah bawah sana, kota Tondano juga tampak gemerlap, menerangi salah satu sisi Danau Tondano.
Kami lalu beranjak pulang. Kali ini saya merasa perjalanan menembus hutan ilalang malah lebih lama dibanding tadi. Sebab kali ini gelap total, dan satu-satunya headlamp yang saya bawa tak cukup untuk menerangi jalan bagi kami bertiga. Mungkin lebih dari setengah jam kami berkutat di hutan ilalang, sebelum kemudian kami sampai di bibir kawah awal. Franky menunjuk bendera tempat kami sampai tadi, yang sekarang samar-samar terlihat. Saya kaget. Ternyata kami tadi mengitari separuh bibir kawah Mahawu!
Kami pulang melalui rute yang sama dengan saat berangkat, dan entah mengapa, perjalanan pulang selalu terasa lebih lama, meski jalannya menurun. Kami perlu menunggu beberapa menit sebelum akhirnya ada sebuah angkot yang lewat. Kami menumpang hingga ke pusat kota Tomohon, dan melihat keramaian orang-orang yang tengah berbelanja pakaian, kembang api, petasan, dan pernak-pernik Natal lain.
Kami sampai kembali ke Volcano Resort pukul 9 malam. Stephen bilang dia akan mencoba mendaki Gunung Lokon sendirian besok pagi sesudah subuh, dan dengan halus saya menolak untuk ikut. Untuk memulihkan kaki yang pegal-pegal, besok saya akan melakukan aktivitas yang ringan saja, mengunjungi Danau Linow.
Esok pagi, begitu saya tengah sarapan di restoran, Stephen datang menghampiri. “Tadi pagi-pagi saya mencoba mendaki Lokon. Saya cari-cari jalurnya, dan sudah tanya ke orang-orang, tapi tidak ketemu juga. Lagi-lagi saya tersesat, jadi saya pulang saja.” Untung saya tidak ikut, hahaha!
Dalam hati saya heran sekali. Dari resort ini, Gunung Lokon terlihat begitu jelas dan besar. Jadi, bagaimana dia bisa tersesat dan tak bisa tak menemukan jalur pendakian ke atas?
Namun kemudian saya ingat, kita tidak boleh meremehkan sebuah gunung, betapapun kecil atau pendek kelihatannya. Sebab badan gunung sebenarnya merupakan area yang sangat luas, dengan kondisi medan yang tidak terduga. Jadi, saya menahan diri, meski sebenarnya ingin tertawa.
Danau yang Bernafas
Danau Linow terletak di Desa Lahendong, kira-kira 20 menit menggunakan angkot dari Tomohon, ke arah selatan. Dari jalan raya, saya tinggal mengikuti Jalan Linow yang menanjak, dan 15 menit kemudian, saya sampai di atas danau yang luasnya kira-kira dua kali lapangan bola ini. Di pinggir jalan sebelum mencapai danau, ada sumber gas belerang yang mengepulkan gas putih. Saya terus berjalan melewati bangunan vila dan kafe yang ada di pinggir danau, dan turun ke sebuah gubuk pandang yang tampaknya jarang dikunjungi. Di sisi danau di sebelah utara sana, sekelompok burung belibis putih asyik bergerombol dan bersahut-sahutan. Mereka tampaknya pintar memilih tempat, karena lokasi di sana agak susah dijangkau orang.

Danau Linow, cantik namun penuh misteri.
Begitu saya melongok ke air danau, segera saya menyadari mengapa danau kecil yang ada di sisi barat Gunung Tompusu (1.202 mdpl) ini istimewa. Kata orang, air danau ini suka berubah warna tergantung arah dan intensitas sinar matahari yang mengenainya. Dan itu benar, karena saat di satu bagian air danau ini tampak hijau sekali, di bagian dekatnya hijau emerald, dan di dekatnya lagi putih pucat. Tapi yang lebih istimewa lagi adalah karena danau ini seperti… bernafas!
Gelembung-gelembung gas baik besar maupun kecil secara kontinyu muncul dari dalam air, meski tak tampak adanya ikan atau makhluk hidup lain di dalamnya. Bau belerang pun tercium. Jelaslah, di dalam danau ini ada aktivitas vulkanik yang cukup sibuk.

Kawah kecil dekat kafe. Awas, jangan terlalu dekat.
Pemandangan danau dari kafe –yang untuk memasukinya perlu membayar Rp 20 ribu– lebih cantik lagi. Gradasi warna danau terlihat lebih jelas, begitu juga gelembung-gelembung gas yang muncul dari air. Di kejauhan sana terlihat Gunung Mahawu yang kini mengepulkan asap putih. Pantaslah kalau spot ini dikomersialkan oleh pemiliknya. “Tapi danaunya tidak bisa buat berenang, Mas, soalnya dalam dan dasarnya berlumpur,” tutur seorang staf. Pasti lah. Lagipula siapa yang berani berenang di danau yang penuh gas?
Danau ini masih punya kejutan lain. Sekitar 10 meter sebelah barat kafe, ada sumber belerang yang juga aktif mengeluarkan gas, dan sebuah kawah kecil berukuran satu meter, dengan lumpur hitam yang menggelegak di dalamnya! Sepertinya, danau ini cuma tinggal menunggu saat yang tepat saja untuk mengeluarkan isi perut yang sebenarnya….
Jalur Sungai Lava
Malam Natal yang saya harapkan ramai ternyata begitu sepi, bahkan setelah mengelilingi Desa Kakaskasen II hingga jam 2 pagi. Franky sendiri yang orang lokal sampai merasa heran, karena tahun-tahun sebelumnya tidak seperti ini. Saya pun beranjak tidur, karena besok pagi kami berencana mendaki Gunung Lokon, sebagai antisipasi kalau-kalau suasana sepi ini terus berlangsung.